Senin, 18 April 2016
Minggu, 17 April 2016
atresia ani
ATRESIA ANI
A. Pengertian
1. Atresia ani adalah kelainan urogenital yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan fusi dan pembentukan anus dari benjolan embriogenik.
( Mansjoer,Arif ; 2000 ).
2. Atresia ani adalah tidak komplit perkembangan embriotik pada distal usus atau tertutupnya anus secara abnormal. ( Suriadi ; 2001 )
3. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. ( Wong, Donnal ; 2003 )
4. Atresia ani adalah kelaianan kongenital yang disebabkan oleh adanya kegagalan kompleks pertumbuhan septum urorektal struktur mesiodrm dan urinarius bagian bawah.( A.H. Markum ; 1996 )
5. Ateria Ani adalah suatu penyakit kelainan-kelainan atau anomali-anomali kongenital pada anus dan rektal.( Behrman ; 1999 )
6. Anus Imperforata ( Atresia anal ) merupakan suatu kelainan malformasi kongenital dimana tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus.( Hidayat.A. Aziz Alimul ; 2006 )
7. Atresia Ani adalah Suatu keadaan dimana lubang anus tidak terbentuk.
( www.medicastore.com )
B. Etiologi
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
4. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
5. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan embrional dan fetal yang dipengaruhi berbagai faktor seperti : faktor genetik, faktor kromosom, faktor mekanis, faktor hormonal, faktor obat, faktor radiasi, faktor gizi dan gangguan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik.Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter dan otot-otot dasar panggul. Namun demikian, pada agenesis anus,sfingter intern mungkin tidak memadai. Kelainan bawaan rektum dan sinus urorektal ysehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan.
Penyebab atresia ani adalah gangguan perkembangan struktur anorektal pada waktu pembentukan organ selama masa kehamilan, gangguan fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik. ( Mansjoer ; 2000 )
Kelaianan bawaan rektum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan. ( Sjamsuhidayat, 1997, A.H. Markum, 1996 )
C. Manifestasi Klinis
Menurut Ngastiyah ( 2005 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.
5. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6. Perut membuncit.
Menurut Suriadi ( 2001 ) gejala atresia ani :
1. Kegagalan lewatnya ekonium saat atau setelah lahir.
2. tidak ada atau stenosis kanal rektal.
3. Adanya membran anal.
D. Patofisiologi
Anus dan rektum berasal dari struktur embriologi yang disebut kloaka. Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral bangunan ini membentuk septum urorektum yang memisahkan rektum di sebelah dorsal dari saluran kencing di sebelah ventral. Kedua sistem (rektum dan saluran kencing) menjadi terpisah sempurna pada umur kehamilan minggu ke-7. Pada saat yang sama, bagian urogenital yang berasal dari kloaka sudah mempunyai lubang eksterna, sedangkan bagian anus tertutup oleh membran yang baru terbuka pada kehamilan minggu
ke-8. Kelainan dalam perkembangan proses-proses ini pada berbagai stase menimbulkan suatu spektrum anomali, kebanyakan membran saluran usus bawah dan bangunan genitourinaria. Hubungan yang menetap antara bagian bawah dan bagian rektum kloaka menimbulkan fistula. ( Behram ; 2000 )
E. Pathway
Struktur embriologi kloaka
Anus dan rectum
Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral
Membentuk septum urorektum pada kehamilan minggu ke-7
Urogenital kloaka Anus tertutup Terbuka pada kehamilan
mengalami pembukaan membran minggu ke-8
Gangguan perkembangan struktur anorektal
Atresia ani
Letak tinggi Letak rendah
Colostomi sementara dilatasi digital 1-2 bulan
Transvercolostomy Sigmoidostomy Penutupan colostomy
Luka Peningkatan kerentanan
terhadap bakteri
Pasca anestesi Pembatasan diet/puasa Peningkatan kebutuhan Imobilitas
protein dan vitamin
Penurunan
peristaltik Mual dan muntah
Konstipasi
F. Komplikasi
1. Atresia ani tipe rendah
Karena pengelolaan atresia ani tipe rendah tidak begitu kompleks. Adapun komplikasi yang mungkin muncul pada pengelolaan atresia ani tipe rendah :
a. Pembentukan abses.
b. Striktur anal.
2. Atresia ani tipe tinggi
a. Striktur anal
Dapat berkembang anoplasti/rektoplasti anus yang baru harus dilatasi secara teratur selama beberapa bulan.
b. Pengelupasan rektum
Hal ini terjadi akibat ischemia.
c. Komplikasi dari colostomy
Prolaps kolon / obstruksi intestinal.
d. Komplikasi urinarius
Inkontinensia dari infeksi traktus urinarius.
Komplikasi yang sering muncul antara lain :
1. Asidosis hiperkloremia
2. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra ( akibat prosedur bedah )
4. Komplikasi yang panjang ;
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis ( akibat kontraksi jarina perut akibat anastomosis )
c. Impasi dan konstipasi.
d. Masalah aau elambatan yang berhubungan dwengan toilet training
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi
f. Prolaps mukosa anorektal ( menyebabkan inkontinensia dan rembes dan pesisten ).
g. Fistula kambuhan ( karena tegangan di area pembedahsn dan infeksi )
G. Klasifikasi
Atresia ani dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe : :
1. TIPE PERTAMA (1): Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat.
2. TIPE KEDUA (2): Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran anus.
3. TIPE KETIGA (3): Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu
kantung yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang seharusnya terbentuk ( lekukan anus ).
4. TIPE KEEMPAT (4): Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai kantung buntu.
5. Kelainan yang berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yang memiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi, dikenal sebagai klasifikasi melboume.
6. Kelainan letak rendah Rektum telah menembus "lebator sling" sehingga sfingter ani internal dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal
contohnya berupa stenosis anus ( tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula anokutaneus dan anus ektopikyang selalu terletak dianterior lokasi anus yang normal ).
7. Rektum berupa kelainan letak tengah
Di daerah anus seharusnya terbentuk secara lazim terdapat lekukan anus ( anal dimple ) yang cukup dalam. Namun, pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu dengan uretra pars bulbaris.
8. Kelainan letak tinggi
Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki, sebaliknya kelinan letak rendah sering ditemukan pada bayi perempuan. Pada perempuan dapat ditemukan fistula dan kutaneus, fistula rektoperinium dan fistula rektovagina. Sedangkanpada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rekto perineum..
Fistula ini menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula tidak dapat dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan fistula dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika berukuran cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk anorektum disertai fistula.
9. Kelainan bawaan anus juga dapat disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi
10. Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital.
(www.google.com)
Klasifikasi atresia ani :
1. Atresia ani tipe rendah.
Suatu kedaan dimana usus bagian dorsal melewati musculus levator ani, dengan terdapat sfingter ani internus dan eksternus yang berkembang baik dan fungsi normal.
2. Atresia ani tipe tinggi.
Suatu keadaan dimana usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis tanpa sfingter ani internus tidak berhasil dalam menahan defikasi rektum.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan atresia ani menurut Syamsuhidayat (1997) :
1. Pemeriksaan radiologi invertogram
Yaitu tehnik pengembalian foto untuk menilai jarak pungtum distal rektum terhadap mara anus di kulit peritonium.
Pada tehnik ini, bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah ) atau tiduer dengan sinar horisontal diarahkan ke tronchanter mayor sehingga dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. Foto ini dilakukan setelah bayi berumur lebih dari 24 jam, karena pada usia tersebut dalam keadaan normal seluruh traktus digestivus sudah berisi udara ( bayi dibalik selama 5 menit ). Invertogram ini dilakukan pada bayi tanpa fistula.
2. Pemeriksaan urine.
Pemeriksaan urine perlu dilakukan untuk mengetahui apakah mekonium di dalamnya sehingga fistula dapat diketahui lebih dini.
I. Penatalaksanaan
Pada kasus atresia ani atau anus imperforata ini pengobatannya dilakukan dengan jalan operasi. Teknik terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.
7
Penanganan secara preventif antara lain:
1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati- hatiterhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresi ani.
2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
Rehabilitasi dan pengobatan :
1. Melakukan pemeriksaan colok dubur
2. Melakukan pemeriksaan radiologik
pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lakukan anus.
3. Melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
4. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau spekulum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan yang
dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
5. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
6. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus
7. Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia ( 1 tahun ) operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia ( 8-12 bulan ) pendekatan sakrum setelah bayi berumur ( 6-9 bulan )
8. Penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through".
Manfaat kolostomi adalah antara lain:
1. Mengatasi obstruksi usus
2. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih
3. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.
Penatalaksanaan menurut Markum (1996) dan Syamsuhidayat (1997) :
1. Atresia ani tipe rendah
Indikasi : jika dalam pemeriksaan masih dijumpai sfingter ani internus dan eksternus serta usus bagian dorsal masih melewati musculus levator ani.
Pengelolaan : pengelolaan atresia ani tipe rendah yang dapat merupakan stenosis anus hanya membutuhkan dilatasi membran anus yang tipis, mudah dibuka segera setelah lahir.
2. Atresia ani tipe tinggi
Indikasi : jika pada pemeriksaan tidak dijumpai sfingter ani internus dan usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis.
Pengelolaan :
a. Tahap pertama ( masa neonatus).
Dilakukan tindakan operasi colostomy. Colostomy tidak boleh melewati 3 hari setelah lahir, dikhawatirkan mengancam jiwa bayi tersebut.
Tindakan operatif bertujuan untuk pengalihan feses sementara dan untuk mengoreksi deformitas rectal.
Ada 2 tempat colostomy yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversum colostomy (colostomy di kolon transversum) dan sigmoidostomi (colostomy di colon sigmoid).
b. Tahap ke dua ( usia 6-12 bulan ).
Dilakukan tindakan operasi yang bersifat definitif dengan prinsip pengobatan operatif posterior sagital anorektoplasi (PSARP). Posisi anus yang tepat di daerah sfingter eksternus dan posisi anatomi usus pada penyangga puborektal.
Jadi ini tindakan PSARP tindakan membuat anus buatan atau tindakan memperbaiki anus dan rektum supaya dapat berfungsi sebagaimana layaknya.
c. Tahap ke tiga
Tindakan operatif tahap ketiga dilakukan minimal 3 bulan setelah PSARP. Tindakan pada tahap ini adalah untuk menutup colostomy tahap pertama (operasi penutupan colostomy)
A. Pengertian
1. Atresia ani adalah kelainan urogenital yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan fusi dan pembentukan anus dari benjolan embriogenik.
( Mansjoer,Arif ; 2000 ).
2. Atresia ani adalah tidak komplit perkembangan embriotik pada distal usus atau tertutupnya anus secara abnormal. ( Suriadi ; 2001 )
3. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. ( Wong, Donnal ; 2003 )
4. Atresia ani adalah kelaianan kongenital yang disebabkan oleh adanya kegagalan kompleks pertumbuhan septum urorektal struktur mesiodrm dan urinarius bagian bawah.( A.H. Markum ; 1996 )
5. Ateria Ani adalah suatu penyakit kelainan-kelainan atau anomali-anomali kongenital pada anus dan rektal.( Behrman ; 1999 )
6. Anus Imperforata ( Atresia anal ) merupakan suatu kelainan malformasi kongenital dimana tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus.( Hidayat.A. Aziz Alimul ; 2006 )
7. Atresia Ani adalah Suatu keadaan dimana lubang anus tidak terbentuk.
( www.medicastore.com )
B. Etiologi
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
4. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
5. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan embrional dan fetal yang dipengaruhi berbagai faktor seperti : faktor genetik, faktor kromosom, faktor mekanis, faktor hormonal, faktor obat, faktor radiasi, faktor gizi dan gangguan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik.Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter dan otot-otot dasar panggul. Namun demikian, pada agenesis anus,sfingter intern mungkin tidak memadai. Kelainan bawaan rektum dan sinus urorektal ysehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan.
Penyebab atresia ani adalah gangguan perkembangan struktur anorektal pada waktu pembentukan organ selama masa kehamilan, gangguan fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik. ( Mansjoer ; 2000 )
Kelaianan bawaan rektum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan. ( Sjamsuhidayat, 1997, A.H. Markum, 1996 )
C. Manifestasi Klinis
Menurut Ngastiyah ( 2005 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.
5. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6. Perut membuncit.
Menurut Suriadi ( 2001 ) gejala atresia ani :
1. Kegagalan lewatnya ekonium saat atau setelah lahir.
2. tidak ada atau stenosis kanal rektal.
3. Adanya membran anal.
D. Patofisiologi
Anus dan rektum berasal dari struktur embriologi yang disebut kloaka. Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral bangunan ini membentuk septum urorektum yang memisahkan rektum di sebelah dorsal dari saluran kencing di sebelah ventral. Kedua sistem (rektum dan saluran kencing) menjadi terpisah sempurna pada umur kehamilan minggu ke-7. Pada saat yang sama, bagian urogenital yang berasal dari kloaka sudah mempunyai lubang eksterna, sedangkan bagian anus tertutup oleh membran yang baru terbuka pada kehamilan minggu
ke-8. Kelainan dalam perkembangan proses-proses ini pada berbagai stase menimbulkan suatu spektrum anomali, kebanyakan membran saluran usus bawah dan bangunan genitourinaria. Hubungan yang menetap antara bagian bawah dan bagian rektum kloaka menimbulkan fistula. ( Behram ; 2000 )
E. Pathway
Struktur embriologi kloaka
Anus dan rectum
Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral
Membentuk septum urorektum pada kehamilan minggu ke-7
Urogenital kloaka Anus tertutup Terbuka pada kehamilan
mengalami pembukaan membran minggu ke-8
Gangguan perkembangan struktur anorektal
Atresia ani
Letak tinggi Letak rendah
Colostomi sementara dilatasi digital 1-2 bulan
Transvercolostomy Sigmoidostomy Penutupan colostomy
Luka Peningkatan kerentanan
terhadap bakteri
Pasca anestesi Pembatasan diet/puasa Peningkatan kebutuhan Imobilitas
protein dan vitamin
Penurunan
peristaltik Mual dan muntah
Konstipasi
F. Komplikasi
1. Atresia ani tipe rendah
Karena pengelolaan atresia ani tipe rendah tidak begitu kompleks. Adapun komplikasi yang mungkin muncul pada pengelolaan atresia ani tipe rendah :
a. Pembentukan abses.
b. Striktur anal.
2. Atresia ani tipe tinggi
a. Striktur anal
Dapat berkembang anoplasti/rektoplasti anus yang baru harus dilatasi secara teratur selama beberapa bulan.
b. Pengelupasan rektum
Hal ini terjadi akibat ischemia.
c. Komplikasi dari colostomy
Prolaps kolon / obstruksi intestinal.
d. Komplikasi urinarius
Inkontinensia dari infeksi traktus urinarius.
Komplikasi yang sering muncul antara lain :
1. Asidosis hiperkloremia
2. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra ( akibat prosedur bedah )
4. Komplikasi yang panjang ;
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis ( akibat kontraksi jarina perut akibat anastomosis )
c. Impasi dan konstipasi.
d. Masalah aau elambatan yang berhubungan dwengan toilet training
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi
f. Prolaps mukosa anorektal ( menyebabkan inkontinensia dan rembes dan pesisten ).
g. Fistula kambuhan ( karena tegangan di area pembedahsn dan infeksi )
G. Klasifikasi
Atresia ani dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe : :
1. TIPE PERTAMA (1): Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat.
2. TIPE KEDUA (2): Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran anus.
3. TIPE KETIGA (3): Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu
kantung yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang seharusnya terbentuk ( lekukan anus ).
4. TIPE KEEMPAT (4): Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai kantung buntu.
5. Kelainan yang berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yang memiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi, dikenal sebagai klasifikasi melboume.
6. Kelainan letak rendah Rektum telah menembus "lebator sling" sehingga sfingter ani internal dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal
contohnya berupa stenosis anus ( tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula anokutaneus dan anus ektopikyang selalu terletak dianterior lokasi anus yang normal ).
7. Rektum berupa kelainan letak tengah
Di daerah anus seharusnya terbentuk secara lazim terdapat lekukan anus ( anal dimple ) yang cukup dalam. Namun, pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu dengan uretra pars bulbaris.
8. Kelainan letak tinggi
Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki, sebaliknya kelinan letak rendah sering ditemukan pada bayi perempuan. Pada perempuan dapat ditemukan fistula dan kutaneus, fistula rektoperinium dan fistula rektovagina. Sedangkanpada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rekto perineum..
Fistula ini menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula tidak dapat dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan fistula dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika berukuran cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk anorektum disertai fistula.
9. Kelainan bawaan anus juga dapat disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi
10. Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital.
(www.google.com)
Klasifikasi atresia ani :
1. Atresia ani tipe rendah.
Suatu kedaan dimana usus bagian dorsal melewati musculus levator ani, dengan terdapat sfingter ani internus dan eksternus yang berkembang baik dan fungsi normal.
2. Atresia ani tipe tinggi.
Suatu keadaan dimana usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis tanpa sfingter ani internus tidak berhasil dalam menahan defikasi rektum.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan atresia ani menurut Syamsuhidayat (1997) :
1. Pemeriksaan radiologi invertogram
Yaitu tehnik pengembalian foto untuk menilai jarak pungtum distal rektum terhadap mara anus di kulit peritonium.
Pada tehnik ini, bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah ) atau tiduer dengan sinar horisontal diarahkan ke tronchanter mayor sehingga dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. Foto ini dilakukan setelah bayi berumur lebih dari 24 jam, karena pada usia tersebut dalam keadaan normal seluruh traktus digestivus sudah berisi udara ( bayi dibalik selama 5 menit ). Invertogram ini dilakukan pada bayi tanpa fistula.
2. Pemeriksaan urine.
Pemeriksaan urine perlu dilakukan untuk mengetahui apakah mekonium di dalamnya sehingga fistula dapat diketahui lebih dini.
I. Penatalaksanaan
Pada kasus atresia ani atau anus imperforata ini pengobatannya dilakukan dengan jalan operasi. Teknik terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.
7
Penanganan secara preventif antara lain:
1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati- hatiterhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresi ani.
2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.
Rehabilitasi dan pengobatan :
1. Melakukan pemeriksaan colok dubur
2. Melakukan pemeriksaan radiologik
pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lakukan anus.
3. Melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
4. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau spekulum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan yang
dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
5. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
6. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus
7. Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia ( 1 tahun ) operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia ( 8-12 bulan ) pendekatan sakrum setelah bayi berumur ( 6-9 bulan )
8. Penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through".
Manfaat kolostomi adalah antara lain:
1. Mengatasi obstruksi usus
2. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih
3. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.
Penatalaksanaan menurut Markum (1996) dan Syamsuhidayat (1997) :
1. Atresia ani tipe rendah
Indikasi : jika dalam pemeriksaan masih dijumpai sfingter ani internus dan eksternus serta usus bagian dorsal masih melewati musculus levator ani.
Pengelolaan : pengelolaan atresia ani tipe rendah yang dapat merupakan stenosis anus hanya membutuhkan dilatasi membran anus yang tipis, mudah dibuka segera setelah lahir.
2. Atresia ani tipe tinggi
Indikasi : jika pada pemeriksaan tidak dijumpai sfingter ani internus dan usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis.
Pengelolaan :
a. Tahap pertama ( masa neonatus).
Dilakukan tindakan operasi colostomy. Colostomy tidak boleh melewati 3 hari setelah lahir, dikhawatirkan mengancam jiwa bayi tersebut.
Tindakan operatif bertujuan untuk pengalihan feses sementara dan untuk mengoreksi deformitas rectal.
Ada 2 tempat colostomy yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversum colostomy (colostomy di kolon transversum) dan sigmoidostomi (colostomy di colon sigmoid).
b. Tahap ke dua ( usia 6-12 bulan ).
Dilakukan tindakan operasi yang bersifat definitif dengan prinsip pengobatan operatif posterior sagital anorektoplasi (PSARP). Posisi anus yang tepat di daerah sfingter eksternus dan posisi anatomi usus pada penyangga puborektal.
Jadi ini tindakan PSARP tindakan membuat anus buatan atau tindakan memperbaiki anus dan rektum supaya dapat berfungsi sebagaimana layaknya.
c. Tahap ke tiga
Tindakan operatif tahap ketiga dilakukan minimal 3 bulan setelah PSARP. Tindakan pada tahap ini adalah untuk menutup colostomy tahap pertama (operasi penutupan colostomy)
Minggu, 10 April 2016
askep asma (sridianiputri)
DIII keperawatan stikes mercubaktijaya padang
1 pengertian
Asma
adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakhea dan
bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan adanya penyempitan jalan
nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan( Muttaqin,2008)
Asma
adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai cirri
bronkospasme periodic (kontraksi spasme pada saluran nafas) terutama
pada percabangan trakeaobronkial,endokrin,infeksi,otonomik dan
psikologi(Somantri,2009)
Asma
adalah proses peradangan di saluran nafas yang mengakibatkan
peningkatan responsive dari saluran nafas terhadap berbagai stimulasi
yang dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menyeluruh dengan
gejala khas sesak nafas yang reversible(Muttaqin,2008)
Klasifikasi Asma
a. Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik)
Merupakan suatu bentuk asma dengan allergen seperti bulu binatang,debu,ketombe, tepung sari, makanan dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airborne dan musiman(seasonal). Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak.
Merupakan suatu bentuk asma dengan allergen seperti bulu binatang,debu,ketombe, tepung sari, makanan dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airborne dan musiman(seasonal). Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak.
b. Idiopatik atau Non alergik / Intrinsik
Tidak
berhubungan secara langsung dengan allergen spesifik. Factor-faktor
seperti common cold, infeksi saluran nafas atas, aktivitas,
emosi/stress, dan populasi lingkungan akan mencetuskan seranagn.
Beberapa agen farmakologi, seperti agonis β-adrenergik dan bahan sulfat
(penyedap makanan) juga dapat menjadi factor penyebab. Serangan dari
asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering kali
dengan berjalannya waktu dapat berkembangn menjadi bronchitis an
emfisema. Pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi asma campuran.
Bentuk asma ini biasanya dimulai ketika dewasa(>35 tahun).
c. Asma Campuran (Mixed Asma)
Merupakan
bentuk asma yang paling sering. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua
jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi.(Somantri,2008)
2.Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.
timbulnya serangan asma bronkhial.
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Dimana
yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.Karena
adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma
bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus.Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.
3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
· Perubahan cuaca.
Cuaca
lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma.Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti:
musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan
arah angin serbuk bunga dan debu.
· Stress.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.
· Lingkungan kerja.
Mempunyai
hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma.Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja.Misalnya orang yang bekerja di
laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu
lintas.Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
· Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian
besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan
serangan asma.Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera
setelah selesai aktifitas tersebut.
3.Patofisiologi
Suatu
serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan
alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk
imunoglobulin E (IgE). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk
kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap
makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah
alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel
Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya
interleukin 2 (IL-2) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan
membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE
yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan
basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada
seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan
alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada
dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk
Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan
pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan
menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi :
histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis (SRS-A), eosinophilic
chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan menyebabakan
timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik
saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan
bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam
terjadinya edema mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran
nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi
mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi
ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan
difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia,
hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut(Tambayong,2000)
4. Manifestasi Klinik
Gejala
asma terdiri atas, yaitu takipnea, dispnea, batuk, dan mengi. Gejala
yang di sebutkan terakhir sering di anggap sebagai gejala yang harus
ada, dan data lainnya seperti terlihat pada pemeriksaan
fisik(Irman,2009)
Karena asma merupakan suatau penyakit yang di tandai dengan penyempitan jalan nafas yang
reversible
, maka gambaran klinis dari asma memperlihatkan variabilitasyang besar
baik di antara penderita asma dan secara individual di sepanjang waktu .
masalah utamanya adalah kepekaan selaput lender bronchial dan
hiperaktif otot bronchial . rangkaian pengaruh dari edema selaput lender
bronchial, peningkatan produksi mucus (dahak).menimbulkan penyempitan
jalan nafas dan menyebabkan empat gejala asma yang utama yakni :
kelelahan, batuk, mengi , pernafasan pendek , dan rasa sesak di
dada(Antony,1997)
F. Pemeriksaan diagnostik
Pengukuran Fungsi Paru ( Spirometri)
Pemeriksaan
yang dilakukan untuk mengukur secara objektif faal paru. Bertujuan
mengukur volume paru secara static dan dinamik serta untuk mengetahui
gangguan pada faal paru.
Tes Provokasi Bronkhus
Tes
provokasi bronchus, untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronchus(
histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan
udara dingin dan inhalasi dengan aqua destilata)
Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan adanya antibody IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
Pemeriksaan Laboratoium
1. Analisa Gas Darah (AGD/ astrup)
Hanya
dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia,
hiperkapnea, dan asidosis respiratorik. Pada pasien asma terdapat hasil
abnormal sebagai berikut:
° Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
° Kadang-kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
° Hiponatremia dan kadar leukosit di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
°
Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E
pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2. Sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan sebagai berikut:
° Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
° Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
° Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
°
Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat
mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
3. Sel Eosinofil
Sel
eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai
1000-1500/mm³ baik asma intrisik ataupun ekstrisik, sedangkan hitung sel
eosinofil normal antara
100-200/mm³.
4. Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah
sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm³ terjadi karena adanya infeksi.
SGOT dan SPGT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau
hiperkapnea.
Pemeriksaan Radiologi
Hasil
pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma brokhial biasanya normal,
tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti
pneumothoraks, pneumomediastinum, dan atelektasis. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
° Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
° Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
° Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
° Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
°
Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada
paru-paru(Medicafarma,2008)
5.Komplikasi
1) Pneumothoraks
adalah suatu keadaan terdapatnya udaraatau gas di dalam rongga pleura, yang terjadi secara spontan atau sebagai akibat trauma.
2) Emfisema
adalah
suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi klinis
berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang
disertai dengan kerusakn dinding alveoli.
3) Atelektasis
adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan adanya proses penyakit parenkim yang disebabkan oleh obstruksi bronkhus.
4) Gagal nafas
adalah
ketika pertukaran gas antara oksigen dengan karbon dioksida di paru
tidak dapat mengimbangi laju konsumsi oksigen dan produksi karbon
dioksida pada sel tubuh. Kondisi ini mengakibatkan tekanan oksigen
arterial kurang dari 50mmHg (hipoksemia) dan tekanan karbon dioksida
arterial meningkat lebih dari 45mmHg(hiperkapnea)
5) Brokitis
adalah
peradangan dari satu atau lebih bronkus yang dapat disebabkan oleh
karena terkena dingin,penghirupan bahan-bahan iritan dan oleh karena
infeksi akut.
6) Status Asmatikus
adalah
bentuk hebat dari asma akut dimana obstruksi jalan nafas tahan terhadap
terapi obat konvensional dan berakhir lebih dari 24 jam.
7) Disritmia
adalah
gangguan pada frekuensi jantung regular atau irama yang disebabakan
oleh perubahan pada konduksi elektrik atau otomatisasi(Rab,1996)
6. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Pengobatan nonfarmakologi
a) Penyuluhan
Penyuluhan
ini ditunjukan untuk peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit
asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus,
menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi pada tim kesehatan.
b) Menghindari factor pencetus
Klien
perlu dibantu mengidentifikasi pencetus seranagn asma yang ada pada
lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi factor
pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi klien.
c) Fisioterapi
Dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mucus. Ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi dan fibrasi dada.
Pengobatan Farmakologi
a) Agonis beta
Metaproterenol(alupent,metrapel).
Bentuknya aerosol, bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4x
semprot, dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit
b) Metilxantin
Dosis
dewasa diberikan 125-200 mg 4x sehari. Golongan metilxantin adalh
aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan beta agonis
tidak memberika hasil yang memuaskan.
c) Kortikosteroid
Jika
agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respons yang baik, harus
diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol dengan dosis 4x
semprot tiap hari.
Pemberian
steroid dalam jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang
mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d) Kromoloin dan Iprutropioum bromide (atroven)
Kromolin
merupakan obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis
Iprutropioum bromide diberikan 1-2 kapsul 4x sehari(Kee dan Hayes,1994)
e) Bronkodilator
Tidak
digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secra inhalsi atau
parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan
simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral,
sebab makaisme yang berlain, demikian pula sebaliknya, bila sebelumnya
telah digunakan obat golongan teofilin oral, maka sebainya diberikan
obat golongan simpatomimetik.
Obat-obat brokodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap
adrenoreseptor ( Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin,
Fenoterol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta
efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk non- selektif (Adrenalin,
Efedrin, Isoprendlin).
· Obat-obat
bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping
sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada
anak-anak dan dewaa. Mula-mula diberikan dua sedotan dari Metered
Aerosol Defire ( Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan
dapat diulang setiap empat jam , jika tidak ada perbaikan dalam 10-15
menit setelah pengobatan, maka berikan Aminophilin intervena.
· Obat-obat
Brokodilator simpatomimetik memberikan efek samping takikardi,
penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada
penyakit hipertensi, kardiovaskular, dan serebrovaskular. Pada dewasa
dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1:1000 secara subkutan. Pada
anak-anak 0,01 mg/KgBB subkutan (1 mg per mil) dapat diulang setiap 30
menit untuk 2-3 kali sesuai kebutuhan.
· Pemberian
AMinophilin secrar intravena dengan dosis awal 5-6mg/KgBB
dewasa/anak-anak, disuntikan perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis
penunjang dapat diberikan sebanayk 0,9mg/KgBB/jam secara intravena. Efek
sampingnya tekanan darah menurun bila tidak dilakukan secara
perlahan.(Muttaqin,2008)
II. Konsep Keperawatan
Pengkajian Keperawatan
Anamnesis
Pengkajian
mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu dilakukan pada klien dengan
asma. Serangan asma pada usia dini memberikan implikasi bahwa sangat
mungkin terdapat status atopic. Serangan pada usia dewasa dimungkinkan
adanya factor non-atopik. Tempat tinggal yang menggambarkan kondisi
tempat klien berada. Berdasarkan tempat alamat tersebut, dapat diketahui
pula factor yang memungkinkan menjadi pencetus serangan asma. Status
perkawinan dan gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau
lingkungan merupakan factor pencetus serangan asma. Pekerjaan serta suku
bangsa juga dapat dikaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan
allergen. Hal ini yang perlu dikaji dari identitas klien ini adalah
tanggal masuk rumah sakit (MRS), nomor rekam medis, asuransi kesehatan
dan diagnosis medis.
Keluhan utama meliputi sesak nafas, bernafas terasa berat pada dada, adanya keluhan sulit untuk bernafas.
Riwayat Penyakit Saat Ini
Klien
dengan serangan asma datang mencari pertolongan terutama dengan keluhan
sesak nafas yang hebat dan mendadak, kemudian diikuti dengan
gejala-gejala lain seperti wheezing, pengugunaan otot bantu pernafasan,
kelelahan,gangguan kesadaran, sianosis dan perubahan tekanan darah.
Serangan asma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium.
Stadium pertama ditandai dengan batul-batuk berkala dan kering. Batuk
ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada
stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadium kedua
ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien
merasa sesak nafas , berusah untuk nafas dalam, ekspirasi memanjang
diikuti bunyi mengi(wheezing). Klien lebih suka duduk dengan tangan
diletakkan pada pinggir tempat tidur, tampak pucat, gelisah, dan warna
kulit mulai membiru. Stadium ketiga ditandai dengan hampir tidak
terdengarnya suara nafas karean aliran udara kecil, tidak ada batuk,
pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama nafas meningkat
karena asfiksia.
Perawat perlu mengkaji obat-obatan yang bias diminum klien dan
memeriksa kemvali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan
kembali.
Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit
yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti adanya ineksi
saluran pernafasan atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, dan
polip hidung. Riwayat serangan asma, frekuensi, waktu dan
alergen-alergen yang dicurigai sebagai pencetus serangan, serta riwayat
pengobatan yang dilakukan untuk meringkan gejala asma.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pada
klien dengan serangan asma perlu dikaji tentang riwayat penyakit asma
atau penyakit alergi yang lain pad anggota keluarga karena
hipersensitivitas pada penyakit asma ini lebih ditentukan oleh factor
genetic dan lingkungan.
Pengkajian Psiko-Sosio-Kultural
Kecemasan
dan koping yang tidak efektif sering didapatakan pada klien dengan asma
bronchial. Status ekonomi berdampak pada asuransi kesehatan dan
perubahan mekanisme peran dalam keluarga. Gangguan emosional sering
dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asma baik gangguan
itu berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar, sampai lingkungan
kerja. Seorang dengan beban hidup yang berat lebih berpotensial
mengalami serangan asma. Berada dalam keadaan yatim piatu, mengalami
ketidak harmonisan hubungan dengan orang lain, sampai menghalangi
ketakutan tidak dapat menjalani peranan seperti semula.
Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Gejala
asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal sehingga
klien dengan asma harus mengubah gaya hidunya sesuai kondisi yang tidak
akan menimbulkan serangan asma.
Pola Hubungan dan Peran
Gejala
asma sangat membatasi klien untuk menjalani kehidupan secara normal.
Klien perlu menyesuaikan diri kondisinya dengan hubungan dan peran
klien, baik di lingkungan rumah tangga, masyarakat, ataupun lingkungan
kerja serta perubahan peran yang terjadi setealh klien mengalami
serangan asma.
Pola Persepsi dan konsep Diri
Perlu
dikaji tentang persepsi klien terhadap penyakitnya. Persepsi yang salah
dapat menhambat respons kooperatif pada diri klien. Cara memandang diri
salah juga akan menjadi stressor dalm kehidupan klien. Semakin banyak
stressor yang ada pada kehidupan klien dengan asma dapat meningkatkan
kemungkinan serangan asma berulang.
Pola Penanggulangan Stress
Stress
dan ketegangan emosional merupakan factor intrinsic pencetus serangan
asma. Oleh karena itu perlu dikaji penyebab terjadinya stress. Frekuensi
dan pengaruh stress terhadap kehidupan klien serat cara penangulangan
terhadap stressor.
Pola Sensorik dan Kognitif
Kelainan
pada pola persepsi dan kognitif akan memengaruhi konsep diri klien dan
akhirnya memengaruhi jumlah stressor yang dialami klien sehingga
kemungkaian terjadi seranagn asma berulang pun akan semakin tinggi.
Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Kedekatan
klien pada sesuatu yang diyakininya didunia dipercaya dapat
meningkatakan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan
mendekati diri kepada –Nya merupakan metode penanggulangan sters yang
konstruktif.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Perawat
juga perlu mengkaji tentang kesadarn klien, kecemasan, kegelisahan,
kelemahan suara bicara, denyut nadi, frekuensi pernafasan yang
meningkat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, sianosis, batuk dengan
lendir lengket, dan posisi istirahat klien.
B1 (Breathing)
Inspeksi
Pada
klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan,
serta penggunaan otot bantu pernafasan. Inspeksi dada terutama untuk
melihat postur bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter
anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan irama
pernafasan dan frekuensi pernafsan.
Palpasi
Pada palpasi biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan taktil fremitus normal.
Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
Auskultasi
Terdapat
suara vesikuler yang meningkatkan disertai dengan ekspirasi lebih dari 4
detik atau lebih dari 3 kali inspirasi, dengan bunyi nafas tambahan
utama wheezing pada akhir ekspirasi.
B2 (Blood)
Perawat
perlu memonotori dampak asma pada status kardiovaskuler meliputi
keadaan hemodinamik seperti nadi,tekanan darah, dan CRT.
B3(Brain)
Pada
saat inspeksi,tingkat kesadarn perlu dikaji. Di samping itu, diperlukan
pemeriksaan GCS untuk menentukan tingkat kesadaran klien apakah compos
mentis,somnolen, atau koma.
B4(Bladder)
Pengukuran
volume output urine perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake
cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonotor ada tidaknya oligouria,
karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
B5(Bowel)
Dikaji
adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada
ekstremitas karena dapat merangsang serangan asma. Pengkaji tentang
status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan-kesulitan
dalam memenuhi kebutuhannya. Pada klien dengan sesak nafas,sangat
potensial terjadi kekurangan pemenuhan kebutuhan nutrisi,hal ini karena
terjadi dipnea saat makan, laju metabolisme, serta kecemasan yang
dialami klien.
B6(Bone)
Dikaji
adanya edema ekstremitas,tremor dan tanda-tanda infeksi pada
ekstremitas karena dapat merangsang serangan asma. Pada integumen perlu
dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor
kulit,kelembapan,mengelupas atau bersisik, pendarahan,
pruritus,eksim,dan adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis.
Pada rambut, dikaji warna rambut, kelembapan, dan kusam. Perlu dikaji
pula tentang bagaimana tidur dan istirahat klien yang meliputi berapa
lama(Muttaqin,2008)
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1:
· Bersihan
jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkhokonstriksi,
bronkhospasme ditandai dengan sekresi mucus yang kental, adanya
wheezing,RR meningkat (lebih dari 22x/mnt), HR meningkat (lebih dari
100x/mnt), napas dangkal dan cepat, menggunakan otot bantu napas.
Tujuan :
· Bersihan jalan napas kembali efektif setelah di lakukan tindakan keperawatan selama ….x 24 jam
Kriteria Hasil:
§ Klien dapat mendemonstrasikan batuk efektif
§ Tidak ada suara nafas tambahan dan wheezing
§ Pernapasan klien normal ( 16 -20 x /menit) tanpa adanya pengguanaan otot bantu napas.
§ Frekuensi nadi 60-120 x /menit.
Intervensi:
· Mandiri :
1.) Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan ( posisi semi fowler)
Rasional : posisi semi fowler dapat memberikan kesempatan pada proses ekspirasi paru.
2.) Kaji Warna, kekentalan dan jumlah sputum
Rasional : karekteristik sputum dapat menunjukkan barat ringannya obstruksi.
3.) Atur posisi semifowler
Rasional : posisi semi fowler meningkatkan ekspansi paru.
4.) Ajarkan cara batuk efektif dan terkontrol
Rasional : batuk yang terkontrol dan efektif dapat memudahkan pengeluaran secret yang melekat dijalan napas.
5.) Bantu klien latihan napas dalam.
Rasional
: ventilasi maksimal membuka lumen jalan nafas dan meningkatkan gerakan
secret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan.
6.) Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan
Rasional : Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
7.) Lakukan fisioterapi dada dengan teknik postural dranase, perkusi,fibrasi dada.
Rasional : fisioterapi dada merupakan strategi untuk mengeluarkan secret.
· Kolaborasi :
1.) Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
Rasional
: Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area
broncus yang mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi.
2.) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat agen mukolitik dan ekspektoran
Rasional
: agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan secret paru
untuk memudahkan pembersihan. Agen ekspektoran akan memudahkan secret
lepas dari perlengketan jalan napas .
3.) Kolaborasi dengan dokter pemberian obat kortikostiroid.
Rasional
: kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan
menurunkan reaksi inflamasi akibat edema mukosa dan dinding bronkus.
Diagnosa 2
· Pola
napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energy/kelelahan di
tandai dengan sesak napas, takipnea, orthopnea, tarikan
interkostal/penggunaan otot napas tambahan untuk bernapas, napas pendek,
napas pursed-lip.
Tujuan:
· Pola nafas kembali efektif setelah di lakukan tindakan keperawatan selama … x 24
Kriteri Hasil :
· pernapasan klien normal (16-20x/menit) tanpa adanya penggunaan otot bantu napas.
· Tidak terdapat suara nafas tambahan atau wheezing.
· Status tanda vital dalam batas normal.
- nadi 60 - 100x /menit
- RR 16-20 x/mnt
· Klien dapat mendemonstrasikan teknik distraksi pernapasan.
Intervensi:
Mandiri :
1.) Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan ( posisi semi fowler)
Rasional : posisi semi fowler dapat memberikan kesempatan pada proses ekspirasi paru.
2.) Pantau kecepatan, irama, kedalaman pernapasan dan usaha respirasi.
Rasional : Memantau pola pernafasan harus dilakukan terutama pada klien dengan gangguan pernafasan .
3.) Perhatikan
pergerakan dada , amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot bantu napas,
serta retraksi otot supraklavikular dan interkostal.
Rasional : melakukan pemeriksaan fisik pada paru dapat mengetahui kelainan yang terjadi pada klien .
4.) Auskultasi bunyi napas, perhatikan area penurunan / tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi napas tambahan.
Rasional : Adanya bunyi napas tambahan mengidentifikasikan adanya gangguan pada pernapasan.
5.) Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas, dan tersengal-sengal.
Rasional : Ansietas dapat memicu pola pernapasan seseorang.
6.) Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress pernapasan
Rasional : Teknik distraksi dapat merileksasikan otot –otot pernapasan.
Kolaborasi :
1) Kolaborasi dengan dokter pemberian bronkodilator.
Rasional
: pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area
bronkus yang mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi.
Diagnosa 3
· Pertukaran
gas berhubungan dengan kelelahan otot respiratory ditandai dengan
dispnea, peningkatanPCO2, peningkatan penggunaan otot bantu napas
Tujuan :
· Pertukaran gas kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…x24 jam.
Kriteria Hasil :
· Klien dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi dalam pernapasan.
· Frekuensi napas 16-20 x /menit dan tidak sesak napas
· Frekuensi nadi 60-120 x /menit.
· Kulit tidak pucat ( PaO2 kurang dari 50 mm Hg.PaCO2 lebih dari 50 mm Hg dan PH 7,35-7,40 )
· Saturasi oksigen dalam darah lebih dari 90%
Intervensi:
1.) Pantau status pernapasan tiap 4 jam,hasil GDA,intake dan output.
Rasional : untuk mengindenfikasi indikasi ke arah kemajuan atau penyimpangan dari hasil klien.
2.) Tempatkan klien pada posisi semi fowler
Rasional: posisi tegak memungkinkan ekspansi paru lebih baik.
3.) Berikan pengobatan yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda-tanda toksisitas.
Rasional : pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronchus seperti kondisi sebelumnya.
4.) Tingkatkan aktifitas secara bertahap, jelaskan bahwa fungsi pernapasan akan meningkat dengan aktivitas.
Rasional : Mengoptimalkan fungsi paru sesuai dengan kemampuan aktivitas individu.
Kolaborasi:
1.) Berikan terapi intravem sesuai anjuran (kolaborasi dengan dokter)
Rasional : Untuk memungkinkan dehidrasi yang cepat dan tepat mengikuti keadaan vaskuler untuk pemberian obat-obat darurat.
2.) Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 L/menit selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2.
Rasional : pemberian oksigen mengurangi beban otot-otot pernafasan.
Diagnosa 4:
· Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan
suplai oksigen ditandai dengan kelelahan, dispnea, sianosis
Tujuan :
· Dalam waktu …x24 jam setelah diberikan intervensi klien dapat melakukan aktivitas sesuai kebutuhan .
Kriteria hasil :
· Klien dapat beraktivitas sesuai kebutuhannya
· Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) dan tidak sesak napas
· Frekuensi nadi 60-120 x /menit.
· Klien dapat mendemonstrasikan teknik distraksi yang diajarkan
Intervensi:
a.) Jelaskan aktivitas dan factor ysng dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
Rasional : merokok ,suhu ekstrem dan stress menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan meningkatkan beban jantung .
b.) Ajarkan progam relaksasi
Rasional : mempertahankan, memperbaiki pola nafas teratur .
c.) Buat jadwal aktivitas harian ,tingkatkan secara bertahap.
Rasional
: mepertahankan pernapasan lambat dengan tetap memperhatikan latihan
fisik memungkinkan peningkatan kemampuan otot bantu pernapasan
d.) Ajarkan teknik napas efektif.
Rasional : meningkatkan oksigenasi tanpa mengorbankan banyak energi .
e.) Pertahan kan terapi oksigen tambahan .
Rasional : mempertahankan, memperbaiki dan meningkatkan konsentrasi oksigen darah.
f.) Kaji respon abnormal setelah aktivitas.
Rasional : respon abnormal meliputi nadi , tekanan darah , dan pernafasan yang meningkat .
g.) Beri waktu istirahat yang cukup.
Rasional : meningkatkan daya tahan klien, mencegah kelelahan .
Kolaborasi :
a) Kolaborasikan dengan fisioterapi untuk melakukan latihan /aktivitas harian sesuai jadwal.
Rasional: latihan/aktivitas harian memungkinkan kemampuan otot bantu nafas
(Doengoes,2000)
Daftar Pustaka
Rab,Tabran.1996.Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:Hipokrates.
Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Crocket,Antony,1997. Penanganan Asma Dalam Keperawatan Primer. Jakrta:Hipokrates.
Doengoes, Marilyn.dkk.2000. Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Tambayong,Jan.2000.Patofisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC
Langganan:
Postingan (Atom)