Kamis, 28 Juli 2016

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN,TINGKAT PENDIDIKAN,DAN PERAN KADER POSYANDU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI PADA BAYI DI WILAYAH PATALASSANG KABUPATEN TAKALAR

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Imunisasi adalah suatu cara intervensi yang paling efektif dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan bayi. Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu parameter utama ukuran kesejahteraan masyarakat pedal umumnya dan kesehatan anak pada khususnya. Sampai saat ini Indonesia masih termasuk kategori negara dengan AKB yang tinggi bahkan tertinggi di negara ASEAN dibanding dengan negara maju. AKB sebagai permasalahan yang serius sehingga ada upaya pencegahan primer yang mendasar dan merupakan kegiatan rutin seperti pendeteksian kelainan janin dalam rahim, imunisasi pada ibu hamil, bayi, dan bayi (Anonim, 2007).

Salah satu indikator kesehatan suatu bangsa ialah derajat kesehatan anak, yang biasanya diukur melalui angka kematian anak, cakupan imunisasi dan parameter-parameter lainnya. Masalah imunisasi tentu menjadi fokus utama, di samping penyakit-penyakit lain seperti talasemia dan purpura trombositoponik idiopatik.
Program imunisasi merupakan program pelayanan kesehatan yang wajib disediakan dan diselenggarakan pemerintah. Istilah wajib muncul karena program imunisasi merupakan pelayanan yang domain rendah dan memiliki dampak terhadap orang lain (externality) yang besar. Dengan demikian, ketersediaan berarti pemerintah harus menyediakan tenaga andal dan cukup dalam melakukan, imunisasi, alat cukup sesuai dengan standar teknis, dana (investasi, operasional, dan pemeliharaan) cukup, dan vaksin yang cukup (Muhlil R, 2005).

Laporan UNICEF yang dikeluarkan terakhir menyebutkan bahwa 27 juta anak bayi dan 40 juta ibu hamil di seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibatnya, penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta kematian tiap tahun. Angka ini mencakup 1,4 juta anak bayi yang terenggut jiwanya (UNICEF, 2000).
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah sa9tu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada bayi di Indonesia adalah akibat PD3I. Agar target nasional dan global untuk mencapai eradikasi, eliminasi dan reduksi terhadap PD3I dapat dicapai, cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata sampai mencapai tingkat Population Immunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi. Kegagalan untuk menjaga tingkat cakupan imunisasi yang tinggi dan merata dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) PD3I (Depkes, 2007).

Imunisasi di Indonesia secara teratur dimulai  sejak tahun 1956 sehingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1974. Tahun 1977 WHO memulai program imunisasi yang di Indonesia disebut Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Pemerintah sebenarnya tidak mewajibkan berbagai jenis imunisasi harus dilakukan semua. Hanya lima jenis imunisasi pada anak di bawah satu tahun yang harus dilakukan, yakni BCG (bacillus calmette-guerin), DPT (difteri pertusis tetanus), polio, campak, dan hepatitis B.
Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) pada dasarnya merupakan prediksi terhadap cakupan atas imunisasi lengkap pada sekelompok bayi. Bila cakupan UCI tergambarkan besarnya tingkat kekebalan masyarakat atau bayi terhadap penularan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Dalam hal ini pemerintah mentargetkan pencapaian UCI pada wilayah administrasi Desa/Kelurahan.
Imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dengan melaksanakan imunisasi cacar di pulau Jawa. Kegiatan ini telah berhasil membasmi penyakit cacar di Indonesia, sehingga pada tahun 1974 Indonesia dinyatakan  telah bebas penyakit cacar oleh WHO. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dimulai sejak tahun 1977 dengan pemberian vaksin BCG, DPT dan TT. Pada tahun 1980 dikembangkan vaksin polio dan terakhir vaksin campak pada tahun 1982. (www.temporaktif.com,2008)

Program imunisasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1956 dengan melaksanakan vaksinasi cacar di pulau Jawa, hingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Dengan keberhasilan tersebut maka sejak itu dilakukan pula vaksinasi Toxoid Tetanus untuk ibu hamil tahun 1974. Vaksinasi DPT dimulai tahun 1976,vaksinasi BCG di tahun 1978. Pengembangan program imunisasi (PPI) secara resmi dimulai tahun1977. Vaksinasi polio dan campak mulai dikembangkan pada tahun 1980, hingga pada tahun 1982 program imunisasi telah mencangkup enam jenis antigen yaitu : BCG, DPT, Polio, dan Campak.  Pada tahun 1995-1997 diadakan pekan imunisasi Nasional (PIN) , diharapkan setiap balita termasuk bayi baru lahir di seluruh Indonesia mendapatkan imunisasi. Pada tahun 1995 PIN hanya memberikan vaksin polio, akan tetapi pada tahun 1996 dan 1997 juga diberikan imunisasi polio dan campak pada balita dan imunisasi TT  pada ibu hamil dan ibu balita. Dengan tujuan agar mengurangi angka kematian bayi akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PB3I) dan tujuan khusus adalah tercapainya Universal Child Immunization (UCI) di tiap kecamatan, tercapainya eliminasi Tetanus Neonatorum  (insiden di bawah 1 per 10.000 kelahiran hidup) di seluruh Indonesia dan reduksi campak pada tahun 2000.(Nadhrin, 1995).

 Berdasarkan profil kesehatan provinsi Sulawesi Selatan tahun 2006 cakupan imunisasi telah mencapai UCI selama 5 tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2002 sebesar 88,90%, pada tahun 2003 sebesar 91,70%, pada tahun 2004 sebesar 92,51%, pada tahun 2005 sebesar 96,76% dan pada tahun 2006 sebesar 88,30%. (DinKes, 2007)

Berdasarkan evaluasi di lapangan ternyata pelaksanaan imunisasi selama ini dianggap belum memadai dilihat dari masih meningkatnya penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti : Tetanus Neonatorum, Campak, Difteri, Pertusis, Hepatitis. Secara nasional angka insiden Tetanus Neonatorum pada tahun 2003 sebanyak 175 kasus (CFR 56%), Campak tahun 2003 sebanyak 2.914 kasus (CFR 0,34%), Difteri tahun 86 kasus (CFR 23%), Pertusis pada tahun  2003 sebanyak 2.788 kasus dan Hepatits periode 2000-2003 sebanyak 29.597 kasus. Sedangkan Sulawesi Selatan sendiri angka insiden Tetanus Neonatorum pada tahun 2005 8 kasus (CFR 5 orang), Campak tahun 2005 sebanyak 445 Orang, Difteri tahun 2005 sebayak 109 kasus, Pertusis 2005 1 kasus dan tahun 2006 16 kasus, sedangkan Hepatitis pada tahun 2004 sebanyak 700 kasus. (DinKes,2007).

Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu juga hal yang penting, karena penggunaan sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi. Masalah pengertian dan keikutsertaan orang tua dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan yang memadai tentang hal itu diberikan.
Dalam hal ini peran orang tua, khususnya ibu menjadi sangat penting, karena orang terdekat dengan bayi dan anak adalah ibu. Demikian juga tentang pendidikan dan pengetahuan ibu. Pendidikan dan pengetahuan ibu akan mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar pada bayi dan anak, sehingga dapat mempengaruhi status imunisasinya. Masalah pengertian, pemahaman dan kepatuhan ibu dalam program imunisasi bayinya tidak akan jadi halangan yang besar jika pendidikan dan pengetahuan yang memadai tentang hal itu diberikan. (Arsunan, 2006)

Selain peran orang tua juga tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua kegiatan pelayanan Posyandu tidak akan berjalan dengan baik tanpa kehadiran kader sebagai tenaga sukarela. Kader inilah sebenarnya yang menjadi rohnya Posyandu. Peran kader pada hari buka Posyandu sangat besar karena lancar tidaknya penyelenggaraan kegiatan Posyandu ditentukan sejauhmana kemampuan dan keaktifan kader melaksanakan fungsinya serta membangun kerjasama baik sesama kader maupun terhadap pembina dan kelompok sasaran Posyandu. Mengingat begitu strategisnya keberadaan kader maka untuk lebih optimalnya dalam memberikan pelayanan, pemerintah memprogramkan pemberian pelatihan kader. (Bapenas, 2008)

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih ada Posyandu yang mengalami keterbatasan kader, yaitu tidak semua kader aktif dalam setiap kegiatan Posyandu sehingga pelayanan tidak berjalan lancar. Keterbatasan kader disebabkan adanya kader drop out karena lebih tertarik bekerja di tempat lain yang memberikan keuntungan ekonomis, kader pindah karena ikut suami, dan juga setelah bersuami tidak mau lagi menjadi kader, kader sebagai relawan merasa jenuh dan tidak adanya penghargaan kepada kader yang dapat memotivasi mereka untuk bekerja dan faktor-faktor lainnya seperti kurangnya pelatihan serta adanya keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang seharusnya dimiliki oleh seorang kader, karena berdasarkan penelitian sebelumnya kader yang direkrut oleh staf Puskesmas kebanyakan hanya berpendidikan sampai tingkat SLTA dengan pengetahuan yang sangat minim dan umumnya tidak bekerja (Nain, 2008).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar diperoleh jumlah kader Posyandu 4079 yang tersebar di 906 Posyandu, namun yang aktif hanya 3526 orang (86,44%). Sedangkan untuk kecamatan Tamalanrea tahun 2006 memiliki kader Posyandu dengan jumlah kader yang aktif 236 orang (67,83%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar, 2008).
Imunisasi BCG dilakukan sekali pada bayi usia 0-11 bulan, lalu DPT diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan interval minimal empat minggu. Imunisasi polio diberikan empat kali pada bayi 0-11 bulan dengan interval minimal empat minggu. Sedangkan campak diberikan satu kali pada bayi usai 9-11 bulan. Terakhir, imunisasi hepatitis B harus diberikan tiga kali pada bayi usia 1-11 bulan, dengan interval minimal empat minggu (Depkes RI, 2005).

Imunisasi harus diberikan berkali-kali dengan jangka waktu tertentu, orang tua kerap lupa dan harus mencatat dalam dokumen kesehatan anak yang biasanya diberikan oleh bidan, baik di tempat praktik atau di rumah sakit. Jika orang tua teledor, bisa-bisa dokumen kesehatan pun terselip (Depkes RI, 2005).

Rata-rata angka imunisasi di Indonesia hanya 72 persen. Artinya, angka di beberapa daerah sangat rendah. Ada sekitar 2.400 anak di Indonesia meninggal setiap hari termasuk yang meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah. Misalnya tuberculosis, campak, pertussis, dipteri dan tetanus. "Ini merupakan tragedi yang mengejutkan dan tidak seharusnya terjadi. Masalah ini mencerminkan masalah-masalah sistem dari tingkat kabupaten ke bawah. Sekaligus juga mencerminkan perlunya pendanaan yang sesuai di tingkat nasional untuk mendukung dan mempertahankan pengawasan program imunisasi di Indonesia. Wabah polio yang baru saja terjadi merupakan krisis kesehatan yang berdampak global. Ini merupakan contoh yang baik mengapa beberapa program tidak boleh dibiarkan gagal karena kurangnya dana dan kapasitas sumber daya manusia pada pelaksanaannya, "kata Dr. Gianfranco Rotigliano, Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia (UNICEF, 2005).

Data yang diperoleh penulis, pencapaian imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Patalassang dari 952 bayi adalah sebagai berikut: BCG 88,4%, DPT/HB3 55,2%, Campak 54,4% dan Polio 4 50,3% (Medical Record PKM Patalassang, 2008).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Hubungan antara pengetahuan, tingkat pendidikan, dan peran kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar".






B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :           
"Adakah hubungan antara pengetahuan, tingkat pendidikan, dan peran kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar?"

C.    Tujuan Penelitian

1.      Tujuan Umum
        Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, tingkat pendidikan dan peran kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar.

2.      Tujuan Khusus

a.       Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar.

b.      Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu terhadap imunisasi pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar.

c.       Untuk mengetahui hubungan peranan kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar.



D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.      Bagi Instansi Penelitian
Hasil penelitian ini merupakan suatu masukan bagi pihak Puskesmas setempat untuk lebih meningkatkan kinerja stafnya dan juga kadar kesehatan yang dimilikinya dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanannya kepada seluruh bayi terutama dalam memantau cakupan imunisasi.



2.      Bagi Ibu Bayi
Hasil penelitian ini kiranya dapat meningkatkan pemahaman dan wawasan ibu mengenai hubungan antara pendidikan, pengetahuan, dan peran kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi.
3.      Bagi Peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan ilmiah dan bahan bacaan untuk penelitian lebih lanjut yang berkenaan dengan imunisasi pada bayi.
4.      Bagi Peneliti
 Sebagai latihan dan pengalaman berharga bagi peneliti untuk mengetahui hubungan pendidikan pengetahuan ibu, dan peranan kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi.