Kamis, 28 Juli 2016

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN,TINGKAT PENDIDIKAN,DAN PERAN KADER POSYANDU DALAM PEMBERIAN IMUNISASI PADA BAYI DI WILAYAH PATALASSANG KABUPATEN TAKALAR

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Imunisasi adalah suatu cara intervensi yang paling efektif dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi dan bayi. Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu parameter utama ukuran kesejahteraan masyarakat pedal umumnya dan kesehatan anak pada khususnya. Sampai saat ini Indonesia masih termasuk kategori negara dengan AKB yang tinggi bahkan tertinggi di negara ASEAN dibanding dengan negara maju. AKB sebagai permasalahan yang serius sehingga ada upaya pencegahan primer yang mendasar dan merupakan kegiatan rutin seperti pendeteksian kelainan janin dalam rahim, imunisasi pada ibu hamil, bayi, dan bayi (Anonim, 2007).

Salah satu indikator kesehatan suatu bangsa ialah derajat kesehatan anak, yang biasanya diukur melalui angka kematian anak, cakupan imunisasi dan parameter-parameter lainnya. Masalah imunisasi tentu menjadi fokus utama, di samping penyakit-penyakit lain seperti talasemia dan purpura trombositoponik idiopatik.
Program imunisasi merupakan program pelayanan kesehatan yang wajib disediakan dan diselenggarakan pemerintah. Istilah wajib muncul karena program imunisasi merupakan pelayanan yang domain rendah dan memiliki dampak terhadap orang lain (externality) yang besar. Dengan demikian, ketersediaan berarti pemerintah harus menyediakan tenaga andal dan cukup dalam melakukan, imunisasi, alat cukup sesuai dengan standar teknis, dana (investasi, operasional, dan pemeliharaan) cukup, dan vaksin yang cukup (Muhlil R, 2005).

Laporan UNICEF yang dikeluarkan terakhir menyebutkan bahwa 27 juta anak bayi dan 40 juta ibu hamil di seluruh dunia masih belum mendapatkan layanan imunisasi rutin. Akibatnya, penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin ini diperkirakan menyebabkan lebih dari dua juta kematian tiap tahun. Angka ini mencakup 1,4 juta anak bayi yang terenggut jiwanya (UNICEF, 2000).
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B merupakan salah sa9tu penyebab kematian anak di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan 1,7 juta kematian pada anak atau 5% pada bayi di Indonesia adalah akibat PD3I. Agar target nasional dan global untuk mencapai eradikasi, eliminasi dan reduksi terhadap PD3I dapat dicapai, cakupan imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata sampai mencapai tingkat Population Immunity (kekebalan masyarakat) yang tinggi. Kegagalan untuk menjaga tingkat cakupan imunisasi yang tinggi dan merata dapat menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) PD3I (Depkes, 2007).

Imunisasi di Indonesia secara teratur dimulai  sejak tahun 1956 sehingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1974. Tahun 1977 WHO memulai program imunisasi yang di Indonesia disebut Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Pemerintah sebenarnya tidak mewajibkan berbagai jenis imunisasi harus dilakukan semua. Hanya lima jenis imunisasi pada anak di bawah satu tahun yang harus dilakukan, yakni BCG (bacillus calmette-guerin), DPT (difteri pertusis tetanus), polio, campak, dan hepatitis B.
Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) pada dasarnya merupakan prediksi terhadap cakupan atas imunisasi lengkap pada sekelompok bayi. Bila cakupan UCI tergambarkan besarnya tingkat kekebalan masyarakat atau bayi terhadap penularan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Dalam hal ini pemerintah mentargetkan pencapaian UCI pada wilayah administrasi Desa/Kelurahan.
Imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dengan melaksanakan imunisasi cacar di pulau Jawa. Kegiatan ini telah berhasil membasmi penyakit cacar di Indonesia, sehingga pada tahun 1974 Indonesia dinyatakan  telah bebas penyakit cacar oleh WHO. Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dimulai sejak tahun 1977 dengan pemberian vaksin BCG, DPT dan TT. Pada tahun 1980 dikembangkan vaksin polio dan terakhir vaksin campak pada tahun 1982. (www.temporaktif.com,2008)

Program imunisasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1956 dengan melaksanakan vaksinasi cacar di pulau Jawa, hingga Indonesia dinyatakan bebas cacar oleh WHO pada tahun 1974. Dengan keberhasilan tersebut maka sejak itu dilakukan pula vaksinasi Toxoid Tetanus untuk ibu hamil tahun 1974. Vaksinasi DPT dimulai tahun 1976,vaksinasi BCG di tahun 1978. Pengembangan program imunisasi (PPI) secara resmi dimulai tahun1977. Vaksinasi polio dan campak mulai dikembangkan pada tahun 1980, hingga pada tahun 1982 program imunisasi telah mencangkup enam jenis antigen yaitu : BCG, DPT, Polio, dan Campak.  Pada tahun 1995-1997 diadakan pekan imunisasi Nasional (PIN) , diharapkan setiap balita termasuk bayi baru lahir di seluruh Indonesia mendapatkan imunisasi. Pada tahun 1995 PIN hanya memberikan vaksin polio, akan tetapi pada tahun 1996 dan 1997 juga diberikan imunisasi polio dan campak pada balita dan imunisasi TT  pada ibu hamil dan ibu balita. Dengan tujuan agar mengurangi angka kematian bayi akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PB3I) dan tujuan khusus adalah tercapainya Universal Child Immunization (UCI) di tiap kecamatan, tercapainya eliminasi Tetanus Neonatorum  (insiden di bawah 1 per 10.000 kelahiran hidup) di seluruh Indonesia dan reduksi campak pada tahun 2000.(Nadhrin, 1995).

 Berdasarkan profil kesehatan provinsi Sulawesi Selatan tahun 2006 cakupan imunisasi telah mencapai UCI selama 5 tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2002 sebesar 88,90%, pada tahun 2003 sebesar 91,70%, pada tahun 2004 sebesar 92,51%, pada tahun 2005 sebesar 96,76% dan pada tahun 2006 sebesar 88,30%. (DinKes, 2007)

Berdasarkan evaluasi di lapangan ternyata pelaksanaan imunisasi selama ini dianggap belum memadai dilihat dari masih meningkatnya penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti : Tetanus Neonatorum, Campak, Difteri, Pertusis, Hepatitis. Secara nasional angka insiden Tetanus Neonatorum pada tahun 2003 sebanyak 175 kasus (CFR 56%), Campak tahun 2003 sebanyak 2.914 kasus (CFR 0,34%), Difteri tahun 86 kasus (CFR 23%), Pertusis pada tahun  2003 sebanyak 2.788 kasus dan Hepatits periode 2000-2003 sebanyak 29.597 kasus. Sedangkan Sulawesi Selatan sendiri angka insiden Tetanus Neonatorum pada tahun 2005 8 kasus (CFR 5 orang), Campak tahun 2005 sebanyak 445 Orang, Difteri tahun 2005 sebayak 109 kasus, Pertusis 2005 1 kasus dan tahun 2006 16 kasus, sedangkan Hepatitis pada tahun 2004 sebanyak 700 kasus. (DinKes,2007).

Kepercayaan dan perilaku kesehatan ibu juga hal yang penting, karena penggunaan sarana kesehatan oleh anak berkaitan erat dengan perilaku dan kepercayaan ibu tentang kesehatan dan mempengaruhi status imunisasi. Masalah pengertian dan keikutsertaan orang tua dalam program imunisasi tidak akan menjadi halangan yang besar jika pendidikan yang memadai tentang hal itu diberikan.
Dalam hal ini peran orang tua, khususnya ibu menjadi sangat penting, karena orang terdekat dengan bayi dan anak adalah ibu. Demikian juga tentang pendidikan dan pengetahuan ibu. Pendidikan dan pengetahuan ibu akan mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar pada bayi dan anak, sehingga dapat mempengaruhi status imunisasinya. Masalah pengertian, pemahaman dan kepatuhan ibu dalam program imunisasi bayinya tidak akan jadi halangan yang besar jika pendidikan dan pengetahuan yang memadai tentang hal itu diberikan. (Arsunan, 2006)

Selain peran orang tua juga tidak dapat dipungkiri bahwa hampir semua kegiatan pelayanan Posyandu tidak akan berjalan dengan baik tanpa kehadiran kader sebagai tenaga sukarela. Kader inilah sebenarnya yang menjadi rohnya Posyandu. Peran kader pada hari buka Posyandu sangat besar karena lancar tidaknya penyelenggaraan kegiatan Posyandu ditentukan sejauhmana kemampuan dan keaktifan kader melaksanakan fungsinya serta membangun kerjasama baik sesama kader maupun terhadap pembina dan kelompok sasaran Posyandu. Mengingat begitu strategisnya keberadaan kader maka untuk lebih optimalnya dalam memberikan pelayanan, pemerintah memprogramkan pemberian pelatihan kader. (Bapenas, 2008)

Namun kenyataan di lapangan menunjukkan masih ada Posyandu yang mengalami keterbatasan kader, yaitu tidak semua kader aktif dalam setiap kegiatan Posyandu sehingga pelayanan tidak berjalan lancar. Keterbatasan kader disebabkan adanya kader drop out karena lebih tertarik bekerja di tempat lain yang memberikan keuntungan ekonomis, kader pindah karena ikut suami, dan juga setelah bersuami tidak mau lagi menjadi kader, kader sebagai relawan merasa jenuh dan tidak adanya penghargaan kepada kader yang dapat memotivasi mereka untuk bekerja dan faktor-faktor lainnya seperti kurangnya pelatihan serta adanya keterbatasan pengetahuan dan pendidikan yang seharusnya dimiliki oleh seorang kader, karena berdasarkan penelitian sebelumnya kader yang direkrut oleh staf Puskesmas kebanyakan hanya berpendidikan sampai tingkat SLTA dengan pengetahuan yang sangat minim dan umumnya tidak bekerja (Nain, 2008).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar diperoleh jumlah kader Posyandu 4079 yang tersebar di 906 Posyandu, namun yang aktif hanya 3526 orang (86,44%). Sedangkan untuk kecamatan Tamalanrea tahun 2006 memiliki kader Posyandu dengan jumlah kader yang aktif 236 orang (67,83%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Takalar, 2008).
Imunisasi BCG dilakukan sekali pada bayi usia 0-11 bulan, lalu DPT diberikan tiga kali pada bayi usia 2-11 bulan dengan interval minimal empat minggu. Imunisasi polio diberikan empat kali pada bayi 0-11 bulan dengan interval minimal empat minggu. Sedangkan campak diberikan satu kali pada bayi usai 9-11 bulan. Terakhir, imunisasi hepatitis B harus diberikan tiga kali pada bayi usia 1-11 bulan, dengan interval minimal empat minggu (Depkes RI, 2005).

Imunisasi harus diberikan berkali-kali dengan jangka waktu tertentu, orang tua kerap lupa dan harus mencatat dalam dokumen kesehatan anak yang biasanya diberikan oleh bidan, baik di tempat praktik atau di rumah sakit. Jika orang tua teledor, bisa-bisa dokumen kesehatan pun terselip (Depkes RI, 2005).

Rata-rata angka imunisasi di Indonesia hanya 72 persen. Artinya, angka di beberapa daerah sangat rendah. Ada sekitar 2.400 anak di Indonesia meninggal setiap hari termasuk yang meninggal karena sebab-sebab yang seharusnya dapat dicegah. Misalnya tuberculosis, campak, pertussis, dipteri dan tetanus. "Ini merupakan tragedi yang mengejutkan dan tidak seharusnya terjadi. Masalah ini mencerminkan masalah-masalah sistem dari tingkat kabupaten ke bawah. Sekaligus juga mencerminkan perlunya pendanaan yang sesuai di tingkat nasional untuk mendukung dan mempertahankan pengawasan program imunisasi di Indonesia. Wabah polio yang baru saja terjadi merupakan krisis kesehatan yang berdampak global. Ini merupakan contoh yang baik mengapa beberapa program tidak boleh dibiarkan gagal karena kurangnya dana dan kapasitas sumber daya manusia pada pelaksanaannya, "kata Dr. Gianfranco Rotigliano, Kepala Perwakilan UNICEF di Indonesia (UNICEF, 2005).

Data yang diperoleh penulis, pencapaian imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Patalassang dari 952 bayi adalah sebagai berikut: BCG 88,4%, DPT/HB3 55,2%, Campak 54,4% dan Polio 4 50,3% (Medical Record PKM Patalassang, 2008).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Hubungan antara pengetahuan, tingkat pendidikan, dan peran kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar".






B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :           
"Adakah hubungan antara pengetahuan, tingkat pendidikan, dan peran kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar?"

C.    Tujuan Penelitian

1.      Tujuan Umum
        Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, tingkat pendidikan dan peran kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar.

2.      Tujuan Khusus

a.       Untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar.

b.      Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan ibu terhadap imunisasi pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar.

c.       Untuk mengetahui hubungan peranan kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Patalassang Kabupaten Takalar.



D.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1.      Bagi Instansi Penelitian
Hasil penelitian ini merupakan suatu masukan bagi pihak Puskesmas setempat untuk lebih meningkatkan kinerja stafnya dan juga kadar kesehatan yang dimilikinya dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanannya kepada seluruh bayi terutama dalam memantau cakupan imunisasi.



2.      Bagi Ibu Bayi
Hasil penelitian ini kiranya dapat meningkatkan pemahaman dan wawasan ibu mengenai hubungan antara pendidikan, pengetahuan, dan peran kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi.
3.      Bagi Peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan ilmiah dan bahan bacaan untuk penelitian lebih lanjut yang berkenaan dengan imunisasi pada bayi.
4.      Bagi Peneliti
 Sebagai latihan dan pengalaman berharga bagi peneliti untuk mengetahui hubungan pendidikan pengetahuan ibu, dan peranan kader Posyandu terhadap pemberian imunisasi pada bayi.

Minggu, 17 April 2016

atresia ani



ATRESIA ANI

A. Pengertian
1. Atresia ani adalah kelainan urogenital yang disebabkan oleh gangguan pertumbuhan fusi dan pembentukan anus dari benjolan embriogenik.
( Mansjoer,Arif ; 2000 ).
2. Atresia ani adalah tidak komplit perkembangan embriotik pada distal usus atau tertutupnya anus secara abnormal. ( Suriadi ; 2001 )
3. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar. ( Wong, Donnal ; 2003 )
4. Atresia ani adalah kelaianan kongenital yang disebabkan oleh adanya kegagalan kompleks pertumbuhan septum urorektal struktur mesiodrm dan urinarius bagian bawah.( A.H. Markum ; 1996 )
5. Ateria Ani adalah suatu penyakit kelainan-kelainan atau anomali-anomali kongenital pada anus dan rektal.( Behrman ; 1999 )
6. Anus Imperforata ( Atresia anal ) merupakan suatu kelainan malformasi kongenital dimana tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian anus atau tertutupnya anus secara abnormal atau dengan kata lain tidak ada lubang secara tetap pada daerah anus.( Hidayat.A. Aziz Alimul ; 2006 )
7. Atresia Ani adalah Suatu keadaan dimana lubang anus tidak terbentuk.
( www.medicastore.com )

B. Etiologi
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
4. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
5. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
Kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan embrional dan fetal yang dipengaruhi berbagai faktor seperti : faktor genetik, faktor kromosom, faktor mekanis, faktor hormonal, faktor obat, faktor radiasi, faktor gizi dan gangguan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik.Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter dan otot-otot dasar panggul. Namun demikian, pada agenesis anus,sfingter intern mungkin tidak memadai. Kelainan bawaan rektum dan sinus urorektal ysehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan.
Penyebab atresia ani adalah gangguan perkembangan struktur anorektal pada waktu pembentukan organ selama masa kehamilan, gangguan fusi dan pembentukan anus dari tonjolan embrionik. ( Mansjoer ; 2000 )
Kelaianan bawaan rektum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkan. ( Sjamsuhidayat, 1997, A.H. Markum, 1996 )

C. Manifestasi Klinis
Menurut Ngastiyah ( 2005 ) gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani atau anus imperforata terjadi dalam waktu 24-48 jam. Gejala itu dapat berupa:
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.
5. Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (mengeluarkan tinja yang menyerupai pita).
6. Perut membuncit.
Menurut Suriadi ( 2001 ) gejala atresia ani :
1. Kegagalan lewatnya ekonium saat atau setelah lahir.
2. tidak ada atau stenosis kanal rektal.
3. Adanya membran anal.

D. Patofisiologi
Anus dan rektum berasal dari struktur embriologi yang disebut kloaka. Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral bangunan ini membentuk septum urorektum yang memisahkan rektum di sebelah dorsal dari saluran kencing di sebelah ventral. Kedua sistem (rektum dan saluran kencing) menjadi terpisah sempurna pada umur kehamilan minggu ke-7. Pada saat yang sama, bagian urogenital yang berasal dari kloaka sudah mempunyai lubang eksterna, sedangkan bagian anus tertutup oleh membran yang baru terbuka pada kehamilan minggu
ke-8. Kelainan dalam perkembangan proses-proses ini pada berbagai stase menimbulkan suatu spektrum anomali, kebanyakan membran saluran usus bawah dan bangunan genitourinaria. Hubungan yang menetap antara bagian bawah dan bagian rektum kloaka menimbulkan fistula. ( Behram ; 2000 )


E. Pathway
Struktur embriologi kloaka

Anus dan rectum

Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral

Membentuk septum urorektum pada kehamilan minggu ke-7


Urogenital kloaka Anus tertutup Terbuka pada kehamilan
mengalami pembukaan membran minggu ke-8

Gangguan perkembangan struktur anorektal
Atresia ani

Letak tinggi Letak rendah

Colostomi sementara dilatasi digital 1-2 bulan


Transvercolostomy Sigmoidostomy Penutupan colostomy

Luka Peningkatan kerentanan

terhadap bakteri





Pasca anestesi Pembatasan diet/puasa Peningkatan kebutuhan Imobilitas
protein dan vitamin
Penurunan

peristaltik Mual dan muntah


Konstipasi


F. Komplikasi
1. Atresia ani tipe rendah
Karena pengelolaan atresia ani tipe rendah tidak begitu kompleks. Adapun komplikasi yang mungkin muncul pada pengelolaan atresia ani tipe rendah :
a. Pembentukan abses.
b. Striktur anal.
2. Atresia ani tipe tinggi
a. Striktur anal
Dapat berkembang anoplasti/rektoplasti anus yang baru harus dilatasi secara teratur selama beberapa bulan.
b. Pengelupasan rektum
Hal ini terjadi akibat ischemia.
c. Komplikasi dari colostomy
Prolaps kolon / obstruksi intestinal.
d. Komplikasi urinarius
Inkontinensia dari infeksi traktus urinarius.
Komplikasi yang sering muncul antara lain :
1. Asidosis hiperkloremia
2. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
3. Kerusakan uretra ( akibat prosedur bedah )
4. Komplikasi yang panjang ;
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis ( akibat kontraksi jarina perut akibat anastomosis )
c. Impasi dan konstipasi.
d. Masalah aau elambatan yang berhubungan dwengan toilet training
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi
f. Prolaps mukosa anorektal ( menyebabkan inkontinensia dan rembes dan pesisten ).
g. Fistula kambuhan ( karena tegangan di area pembedahsn dan infeksi )





G. Klasifikasi
Atresia ani dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe : :
1. TIPE PERTAMA (1): Saluran anus atau rektum bagian bawah mengalami stenosis dalam berbagai derajat.
2. TIPE KEDUA (2): Terdapat suatu membran tipis yang menutupi anus karena menetapnya membran anus.
3. TIPE KETIGA (3): Anus tidak terbentuk dan rektum berakhir sebagai suatu suatu
kantung yang buntu terletak pada jarak tertentu dari kulit di daerah anus yang seharusnya terbentuk ( lekukan anus ).
4. TIPE KEEMPAT (4): Saluran anus dan rektum bagian bawah membentuk suatu kantung buntu yang terpisah, pada jarak tertentu dari ujung rektum yang berakhir sebagai kantung buntu.
5. Kelainan yang berdasarkan hubungan antara bagian terbawah rektum yang normal dengan otot puborektalis yang memiliki fungsi sangat penting dalam proses defekasi, dikenal sebagai klasifikasi melboume.
6. Kelainan letak rendah Rektum telah menembus "lebator sling" sehingga sfingter ani internal dalam keadaan utuh dan dapat berfungsi normal
contohnya berupa stenosis anus ( tertutupnya anus oleh suatu membran tipis yang seringkali disertai fistula anokutaneus dan anus ektopikyang selalu terletak dianterior lokasi anus yang normal ).
7. Rektum berupa kelainan letak tengah
Di daerah anus seharusnya terbentuk secara lazim terdapat lekukan anus ( anal dimple ) yang cukup dalam. Namun, pada kelainan yang jarang ditemukan ini sering terdapat fistula rektouretra yang menghubungkan rektum yang buntu dengan uretra pars bulbaris.
8. Kelainan letak tinggi
Kelainan ini lebih banyak ditemukan pada bayi laki-laki, sebaliknya kelinan letak rendah sering ditemukan pada bayi perempuan. Pada perempuan dapat ditemukan fistula dan kutaneus, fistula rektoperinium dan fistula rektovagina. Sedangkanpada laki-laki dapat ditemukan dua bentuk fistula yaitu fistula ektourinaria dan fistula rekto perineum..
Fistula ini menghubungkan rektum dengan kandung kemih pada daerah trigonum vesika. Fistula tidak dapat dilalui jika mekonoium jika brukuran sangat kecil, sedangkan fistula dapat mengeluarkan mekonium dalam rektum yang buntu jika berukuran cukup besar. Oleh karena itu, dapat terjadi kelainan bentuk anorektum disertai fistula.
9. Kelainan bawaan anus juga dapat disebabkan gangguan pertumbuhan dan fusi
10. Gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital.
(www.google.com)

Klasifikasi atresia ani :
1. Atresia ani tipe rendah.
Suatu kedaan dimana usus bagian dorsal melewati musculus levator ani, dengan terdapat sfingter ani internus dan eksternus yang berkembang baik dan fungsi normal.
2. Atresia ani tipe tinggi.
Suatu keadaan dimana usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis tanpa sfingter ani internus tidak berhasil dalam menahan defikasi rektum.

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan atresia ani menurut Syamsuhidayat (1997) :
1. Pemeriksaan radiologi invertogram
Yaitu tehnik pengembalian foto untuk menilai jarak pungtum distal rektum terhadap mara anus di kulit peritonium.
Pada tehnik ini, bayi diletakkan terbalik (kepala di bawah ) atau tiduer dengan sinar horisontal diarahkan ke tronchanter mayor sehingga dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan. Foto ini dilakukan setelah bayi berumur lebih dari 24 jam, karena pada usia tersebut dalam keadaan normal seluruh traktus digestivus sudah berisi udara ( bayi dibalik selama 5 menit ). Invertogram ini dilakukan pada bayi tanpa fistula.

2. Pemeriksaan urine.
Pemeriksaan urine perlu dilakukan untuk mengetahui apakah mekonium di dalamnya sehingga fistula dapat diketahui lebih dini.

I. Penatalaksanaan
Pada kasus atresia ani atau anus imperforata ini pengobatannya dilakukan dengan jalan operasi. Teknik terbaru dari operasi atresia ani ini adalah teknik Postero Sagital Ano Recto Plasty (PSARP). Teknik ini punya akurasi tinggi untuk membuka lipatan bokong pasien. Teknik ini merupakan ganti dari teknik lama, yaitu Abdomino Perineal Poli Through (APPT). Teknik lama ini punya resiko gagal tinggi karena harus membuka dinding perut.
7
Penanganan secara preventif antara lain:
1. Kepada ibu hamil hingga kandungan menginjak usia tiga bulan untuk berhati- hatiterhadap obat-obatan, makanan awetan dan alkohol yang dapat menyebabkan atresi ani.
2. Memeriksa lubang dubur bayi saat baru lahir karena jiwanya terancam jika sampai tiga hari tidak diketahui mengidap atresia ani karena hal ini dapat berdampak feses atau tinja akan tertimbun hingga mendesak paru-parunya.
3. Pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulosa untuk menghindari konstipasi.

Rehabilitasi dan pengobatan :
1. Melakukan pemeriksaan colok dubur
2. Melakukan pemeriksaan radiologik
pemeriksaan foto rontgen bermanfaat dalam usaha menentukan letak ujung rectum yang buntu setelah berumur 24 jam, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama tiga menit, sendi panggul dalam keadaan sedikit ekstensi lalu dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lakukan anus.
3. Melakukan tindakan kolostomi neonatus tindakan ini harus segera diambil jika tidak ada evakuasi mekonium.
4. Pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setrap hari dengan kateter uretra, dilatasi hegar, atau spekulum hidung berukuran kecil selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri dirumah dengan jari tangan yang
dilakukan selama 6 bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.

5. Melakukan operasi anapelasti perineum yang kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus yang baru pada kelainan tipe dua.
6. Pada kelainan tipe tiga dilakukan pembedahan rekonstruktif melalui anoproktoplasti pada masa neonatus
7. Melakukan pembedahan rekonstruktif antara lain: operasi abdominoperineum pada usia ( 1 tahun ) operasi anorektoplasti sagital posterior pada usia ( 8-12 bulan ) pendekatan sakrum setelah bayi berumur ( 6-9 bulan )
8. Penanganan tipe empat dilakukan dengan kolostomi kemudian dilanjutkan dengan operasi "abdominal pull-through".

Manfaat kolostomi adalah antara lain:
1. Mengatasi obstruksi usus
2. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih
3. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain.

Penatalaksanaan menurut Markum (1996) dan Syamsuhidayat (1997) :
1. Atresia ani tipe rendah
Indikasi : jika dalam pemeriksaan masih dijumpai sfingter ani internus dan eksternus serta usus bagian dorsal masih melewati musculus levator ani.
Pengelolaan : pengelolaan atresia ani tipe rendah yang dapat merupakan stenosis anus hanya membutuhkan dilatasi membran anus yang tipis, mudah dibuka segera setelah lahir.
2. Atresia ani tipe tinggi
Indikasi : jika pada pemeriksaan tidak dijumpai sfingter ani internus dan usus berakhir di sebelah proksimal musculus puborektalis.
Pengelolaan :
a. Tahap pertama ( masa neonatus).
Dilakukan tindakan operasi colostomy. Colostomy tidak boleh melewati 3 hari setelah lahir, dikhawatirkan mengancam jiwa bayi tersebut.
Tindakan operatif bertujuan untuk pengalihan feses sementara dan untuk mengoreksi deformitas rectal.
Ada 2 tempat colostomy yang dianjurkan dipakai pada neonatus dan bayi yaitu transversum colostomy (colostomy di kolon transversum) dan sigmoidostomi (colostomy di colon sigmoid).
b. Tahap ke dua ( usia 6-12 bulan ).
Dilakukan tindakan operasi yang bersifat definitif dengan prinsip pengobatan operatif posterior sagital anorektoplasi (PSARP). Posisi anus yang tepat di daerah sfingter eksternus dan posisi anatomi usus pada penyangga puborektal.
Jadi ini tindakan PSARP tindakan membuat anus buatan atau tindakan memperbaiki anus dan rektum supaya dapat berfungsi sebagaimana layaknya.
c. Tahap ke tiga
Tindakan operatif tahap ketiga dilakukan minimal 3 bulan setelah PSARP. Tindakan pada tahap ini adalah untuk menutup colostomy tahap pertama (operasi penutupan colostomy)

Minggu, 10 April 2016

askep asma (sridianiputri)

DIII keperawatan stikes mercubaktijaya padang

1 pengertian
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakhea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun sebagai hasil pengobatan( Muttaqin,2008)
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial yang mempunyai cirri bronkospasme periodic (kontraksi spasme pada saluran nafas) terutama pada percabangan trakeaobronkial,endokrin,infeksi,otonomik dan psikologi(Somantri,2009)
Asma adalah proses peradangan di saluran nafas yang mengakibatkan peningkatan responsive dari saluran nafas terhadap berbagai stimulasi yang dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas yang menyeluruh dengan gejala khas sesak nafas yang reversible(Muttaqin,2008)

Klasifikasi Asma
a.      Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik)
 Merupakan suatu bentuk asma dengan allergen seperti bulu binatang,debu,ketombe, tepung sari, makanan dan lain-lain. Alergen terbanyak adalah airborne dan musiman(seasonal). Klien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat penyakit keluarga dan riwayat pengobatan eksim atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan mencetuskan serangan asma. Bentuk asma ini biasanya dimulai sejak kanak-kanak.

b.      Idiopatik atau Non alergik / Intrinsik
Tidak berhubungan secara langsung dengan allergen spesifik. Factor-faktor seperti common cold, infeksi saluran nafas atas, aktivitas, emosi/stress, dan populasi lingkungan akan mencetuskan seranagn. Beberapa agen farmakologi, seperti agonis β-adrenergik dan bahan sulfat (penyedap makanan) juga dapat menjadi factor  penyebab. Serangan dari asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya waktu dapat berkembangn menjadi bronchitis an emfisema. Pada beberapa kasus dapat berkembang menjadi asma campuran. Bentuk asma ini biasanya dimulai ketika dewasa(>35 tahun).
c.       Asma Campuran (Mixed  Asma)
Merupakan bentuk asma yang paling sering. Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik atau nonalergi.(Somantri,2008)

2.Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.

1. Faktor predisposisi
 a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui  bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi.Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asthma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus.Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2. Faktor presipitasi
a.  Alergen
         Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.
Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
2. Ingestan, yang masuk melalui mulut.
Seperti : makanan dan obat-obatan.

3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.
·         Perubahan cuaca.
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.

·         Stress.
            Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati.

·         Lingkungan kerja.
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma.Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.

·         Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
3.Patofisiologi
Suatu serangan asthma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam  lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E (IgE). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 (IL-2) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadai pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan influk Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis (SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan menyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema  mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatansekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut(Tambayong,2000)






































4.  Manifestasi Klinik
Gejala asma terdiri atas, yaitu takipnea, dispnea, batuk, dan mengi. Gejala yang di sebutkan terakhir sering di anggap sebagai gejala yang harus ada, dan data lainnya seperti terlihat pada pemeriksaan fisik(Irman,2009)
Karena asma merupakan suatau penyakit yang di tandai dengan penyempitan jalan nafas yang
reversible , maka gambaran klinis dari asma memperlihatkan variabilitasyang besar baik di antara penderita asma dan secara individual di sepanjang waktu . masalah utamanya adalah kepekaan selaput lender bronchial dan hiperaktif otot bronchial . rangkaian pengaruh dari edema selaput lender bronchial, peningkatan produksi mucus (dahak).menimbulkan penyempitan jalan nafas dan menyebabkan empat gejala asma yang utama  yakni : kelelahan, batuk, mengi , pernafasan pendek , dan rasa sesak di dada(Antony,1997)

F. Pemeriksaan diagnostik
Pengukuran Fungsi Paru ( Spirometri)
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara objektif faal paru. Bertujuan mengukur volume paru secara static dan dinamik serta untuk mengetahui gangguan pada faal paru.
 Tes Provokasi Bronkhus
Tes provokasi bronchus, untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronchus( histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin dan inhalasi dengan aqua destilata)
Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan adanya antibody IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
Pemeriksaan Laboratoium
1.      Analisa Gas Darah (AGD/ astrup)
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea, dan asidosis respiratorik. Pada pasien asma terdapat hasil abnormal sebagai berikut:
° Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
° Kadang-kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
° Hiponatremia dan kadar leukosit di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
° Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
2.      Sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan sebagai berikut:
° Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinopil.
° Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus.
° Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
° Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug.
3.      Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada klien dengan status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm³ baik asma intrisik ataupun ekstrisik, sedangkan hitung sel eosinofil normal antara
100-200/mm³.
4.      Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yang lebih dari 15.000/mm³ terjadi karena adanya infeksi. SGOT dan SPGT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau hiperkapnea.
Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma brokhial biasanya normal, tetapi prosedur ini harus tetap dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses patologi di paru atau komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, dan atelektasis. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:
° Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah.
° Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
° Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
° Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
° Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru(Medicafarma,2008)
5.Komplikasi
1)      Pneumothoraks
adalah suatu keadaan terdapatnya udaraatau gas di dalam rongga pleura, yang terjadi secara spontan atau sebagai akibat trauma.
2)      Emfisema
adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal yang disertai dengan kerusakn dinding alveoli.
3)      Atelektasis
adalah suatu keadaan yang berhubungan dengan adanya proses penyakit parenkim yang disebabkan oleh obstruksi bronkhus.
4)      Gagal nafas
adalah ketika pertukaran gas antara oksigen dengan karbon dioksida di paru tidak dapat mengimbangi laju konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida pada sel tubuh. Kondisi ini mengakibatkan tekanan oksigen arterial kurang dari 50mmHg (hipoksemia) dan tekanan karbon dioksida arterial meningkat lebih dari 45mmHg(hiperkapnea)
5)      Brokitis
adalah peradangan dari satu atau lebih bronkus yang dapat disebabkan oleh karena terkena dingin,penghirupan bahan-bahan iritan dan oleh karena infeksi akut.
6)      Status Asmatikus                                                                                               
adalah bentuk hebat dari asma akut dimana obstruksi jalan nafas tahan terhadap terapi obat konvensional dan berakhir lebih dari 24 jam.
7)      Disritmia                                                                                                   
adalah gangguan pada frekuensi jantung regular atau irama yang disebabakan oleh perubahan pada konduksi elektrik atau otomatisasi(Rab,1996)
6. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Pengobatan nonfarmakologi
a)      Penyuluhan
Penyuluhan ini ditunjukan untuk peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asma sehingga klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, menggunakan obat secara benar dan berkonsultasi pada tim kesehatan.
b)      Menghindari factor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus seranagn asma yang ada pada lingkungannya, diajarkan cara menghindari dan mengurangi factor pencetus, termasuk intake cairan yang cukup bagi klien.
c)      Fisioterapi
Dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mucus. Ini dapat dilakukan dengan postural drainase, perkusi dan fibrasi dada.
Pengobatan Farmakologi
a)      Agonis beta
Metaproterenol(alupent,metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja sangat cepat, diberikan sebanyak 3-4x semprot, dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalah 10 menit
b)       Metilxantin
Dosis dewasa diberikan 125-200 mg 4x sehari. Golongan metilxantin adalh aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberika hasil yang memuaskan.
c)      Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respons yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol dengan dosis 4x semprot tiap hari.
Pemberian steroid dalam jangka yang lama mempunyai efek samping, maka klien yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d)     Kromoloin dan Iprutropioum bromide (atroven)
Kromolin merupakan obat pencegah asma khususnya untuk anak-anak. Dosis Iprutropioum bromide diberikan 1-2 kapsul 4x sehari(Kee dan Hayes,1994)
e)      Bronkodilator
Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secra inhalsi atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral, sebab makaisme yang berlain, demikian pula sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan obat golongan teofilin oral, maka sebainya diberikan obat golongan simpatomimetik.
            Obat-obat brokodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap adrenoreseptor ( Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin, Ispenturin, Fenoterol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping kecil dibandingkan dengan bentuk non- selektif (Adrenalin, Efedrin, Isoprendlin).
·         Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas berat pada anak-anak dan dewaa. Mula-mula diberikan dua sedotan dari Metered Aerosol Defire ( Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan dapat diulang setiap empat jam , jika tidak ada perbaikan dalam 10-15 menit setelah pengobatan, maka berikan Aminophilin intervena.
·         Obat-obat Brokodilator simpatomimetik memberikan efek samping takikardi, penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi, kardiovaskular, dan serebrovaskular. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1:1000 secara subkutan. Pada anak-anak 0,01 mg/KgBB subkutan (1 mg per mil) dapat diulang setiap 30 menit untuk 2-3 kali sesuai kebutuhan.
·         Pemberian AMinophilin secrar intravena dengan dosis awal 5-6mg/KgBB dewasa/anak-anak, disuntikan perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis penunjang dapat diberikan sebanayk 0,9mg/KgBB/jam secara intravena. Efek sampingnya tekanan darah menurun bila tidak dilakukan secara perlahan.(Muttaqin,2008)


         
II. Konsep Keperawatan
Pengkajian Keperawatan
Anamnesis
Pengkajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu dilakukan pada klien dengan asma. Serangan asma pada usia dini memberikan implikasi bahwa sangat mungkin terdapat status atopic. Serangan pada usia dewasa dimungkinkan adanya factor non-atopik. Tempat tinggal yang menggambarkan kondisi tempat klien berada. Berdasarkan tempat alamat tersebut, dapat diketahui pula factor yang memungkinkan menjadi pencetus serangan asma. Status perkawinan dan gangguan emosional yang timbul dalam keluarga atau lingkungan merupakan factor pencetus serangan asma. Pekerjaan serta suku bangsa juga dapat dikaji untuk mengetahui adanya pemaparan bahan allergen. Hal ini yang perlu dikaji dari identitas klien ini adalah tanggal masuk rumah sakit (MRS), nomor rekam medis, asuransi kesehatan dan diagnosis medis.
            Keluhan utama meliputi sesak nafas, bernafas terasa berat pada dada, adanya keluhan sulit untuk bernafas.
Riwayat Penyakit Saat Ini
Klien dengan serangan asma datang mencari pertolongan terutama dengan keluhan sesak nafas yang hebat dan mendadak, kemudian diikuti dengan gejala-gejala lain seperti wheezing, pengugunaan otot bantu pernafasan, kelelahan,gangguan kesadaran, sianosis dan perubahan tekanan darah.
            Serangan asma mendadak secara klinis dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama ditandai dengan batul-batuk berkala dan kering. Batuk ini terjadi karena iritasi mukosa yang kental dan mengumpul. Pada stadium ini terjadi edema dan pembengkakan bronkus. Stadium kedua ditandai dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak nafas , berusah untuk nafas dalam, ekspirasi memanjang diikuti bunyi mengi(wheezing). Klien lebih suka duduk dengan tangan diletakkan pada pinggir tempat tidur, tampak pucat, gelisah, dan warna kulit mulai membiru. Stadium ketiga ditandai dengan hampir tidak terdengarnya suara nafas karean aliran udara kecil, tidak ada batuk, pernafasan menjadi dangkal dan tidak teratur, irama nafas meningkat karena asfiksia.
            Perawat perlu mengkaji obat-obatan yang bias diminum klien dan memeriksa kemvali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk digunakan kembali.

Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu seperti adanya ineksi saluran pernafasan atas, sakit tenggorokan, amandel, sinusitis, dan polip hidung. Riwayat serangan asma, frekuensi, waktu  dan alergen-alergen yang dicurigai sebagai pencetus serangan, serta riwayat pengobatan yang dilakukan untuk meringkan gejala asma.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pada klien dengan serangan asma perlu dikaji tentang riwayat penyakit asma atau penyakit alergi yang lain pad anggota keluarga karena hipersensitivitas pada penyakit asma ini lebih ditentukan oleh factor genetic dan lingkungan.
Pengkajian Psiko-Sosio-Kultural
Kecemasan dan koping yang tidak efektif sering didapatakan pada klien dengan asma bronchial. Status ekonomi berdampak pada asuransi kesehatan dan perubahan mekanisme peran dalam keluarga. Gangguan emosional sering dipandang sebagai salah satu pencetus bagi serangan asma baik gangguan itu berasal dari rumah tangga, lingkungan sekitar, sampai lingkungan kerja. Seorang dengan beban hidup yang berat lebih berpotensial mengalami serangan asma. Berada dalam keadaan yatim piatu, mengalami ketidak harmonisan hubungan dengan orang lain, sampai menghalangi ketakutan tidak dapat menjalani peranan seperti semula.
Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Gejala asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal sehingga klien dengan asma harus mengubah gaya hidunya sesuai kondisi yang tidak akan menimbulkan serangan asma.
Pola Hubungan dan Peran
Gejala asma sangat membatasi klien untuk menjalani kehidupan secara normal. Klien perlu menyesuaikan diri kondisinya dengan hubungan dan peran klien, baik di lingkungan rumah tangga, masyarakat, ataupun lingkungan kerja serta perubahan peran yang terjadi setealh klien mengalami serangan asma.
Pola Persepsi dan konsep Diri
Perlu dikaji tentang persepsi klien terhadap penyakitnya. Persepsi yang salah dapat menhambat respons kooperatif pada diri klien. Cara memandang diri salah juga akan menjadi stressor dalm kehidupan klien. Semakin banyak stressor yang ada pada kehidupan klien dengan asma dapat meningkatkan kemungkinan serangan asma berulang.

Pola Penanggulangan Stress
Stress dan ketegangan emosional merupakan factor intrinsic pencetus serangan asma. Oleh karena itu perlu dikaji penyebab terjadinya stress. Frekuensi dan pengaruh stress terhadap kehidupan klien serat cara penangulangan terhadap stressor.
Pola Sensorik dan Kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan memengaruhi konsep diri klien dan akhirnya memengaruhi jumlah stressor yang dialami klien sehingga kemungkaian terjadi seranagn asma berulang pun akan semakin tinggi.
Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Kedekatan klien pada sesuatu yang diyakininya didunia dipercaya dapat meningkatakan kekuatan jiwa klien. Keyakinan klien terhadap Tuhan dan mendekati diri kepada –Nya merupakan metode penanggulangan sters yang konstruktif.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Perawat juga perlu mengkaji tentang kesadarn klien, kecemasan, kegelisahan, kelemahan suara bicara, denyut nadi, frekuensi pernafasan yang meningkat, penggunaan otot-otot bantu pernafasan, sianosis, batuk dengan lendir lengket, dan posisi istirahat klien.
B1 (Breathing)
Inspeksi
Pada klien asma terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernafasan, serta penggunaan otot bantu pernafasan. Inspeksi dada terutama untuk melihat postur bentuk dan kesimetrisan, adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi otot-otot interkostalis, sifat dan irama pernafasan dan frekuensi pernafsan.
Palpasi
Pada palpasi biasanya kesimetrisan, ekspansi, dan taktil fremitus normal.
Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
                    
Auskultasi
Terdapat suara vesikuler yang meningkatkan disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3 kali inspirasi, dengan bunyi nafas tambahan utama wheezing pada akhir ekspirasi.
 B2 (Blood)
Perawat perlu memonotori dampak asma pada status kardiovaskuler meliputi keadaan hemodinamik seperti nadi,tekanan darah, dan CRT.
B3(Brain)
Pada saat inspeksi,tingkat kesadarn perlu dikaji. Di samping itu, diperlukan pemeriksaan GCS untuk menentukan tingkat kesadaran klien apakah compos mentis,somnolen, atau koma.
B4(Bladder)
Pengukuran volume output urine perlu dilakukan karena berkaitan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonotor ada tidaknya oligouria, karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
B5(Bowel)
Dikaji adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena dapat merangsang serangan asma. Pengkaji tentang status nutrisi klien meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Pada klien dengan sesak nafas,sangat potensial terjadi kekurangan pemenuhan kebutuhan nutrisi,hal ini karena terjadi dipnea saat makan, laju metabolisme, serta kecemasan yang dialami klien.
B6(Bone)
Dikaji adanya edema ekstremitas,tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena dapat merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan pigmentasi, turgor kulit,kelembapan,mengelupas atau bersisik, pendarahan, pruritus,eksim,dan adanya bekas atau tanda urtikaria atau dermatitis. Pada rambut, dikaji warna rambut, kelembapan, dan kusam. Perlu dikaji pula tentang bagaimana tidur dan istirahat klien yang meliputi berapa lama(Muttaqin,2008)


Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1:
·         Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkhokonstriksi,  bronkhospasme ditandai dengan sekresi mucus yang kental, adanya wheezing,RR meningkat (lebih dari 22x/mnt), HR meningkat (lebih dari 100x/mnt), napas dangkal dan cepat, menggunakan otot bantu napas.
Tujuan :
·         Bersihan jalan napas kembali efektif setelah di lakukan tindakan keperawatan selama ….x 24 jam
Kriteria Hasil:
§  Klien dapat mendemonstrasikan batuk efektif
§  Tidak ada suara nafas tambahan dan wheezing
§  Pernapasan klien normal ( 16 -20 x /menit) tanpa adanya pengguanaan otot bantu napas.
§  Frekuensi nadi 60-120 x /menit.
Intervensi:
·         Mandiri :
1.)    Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan ( posisi semi fowler)
Rasional : posisi semi fowler dapat memberikan kesempatan pada proses ekspirasi paru.
2.)    Kaji Warna, kekentalan dan jumlah sputum
Rasional : karekteristik sputum dapat menunjukkan  barat ringannya obstruksi.
3.)    Atur posisi semifowler
Rasional : posisi semi fowler meningkatkan ekspansi paru.
4.)    Ajarkan cara batuk efektif dan terkontrol
Rasional : batuk yang terkontrol dan efektif  dapat memudahkan pengeluaran secret yang melekat dijalan napas.
5.)    Bantu klien latihan napas dalam.
Rasional : ventilasi maksimal membuka lumen jalan nafas dan meningkatkan gerakan secret kedalam jalan nafas besar untuk dikeluarkan.
6.)    Pertahankan intake cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali tidak diindikasikan
Rasional : Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan jalan nafas.
7.)    Lakukan fisioterapi dada dengan teknik postural dranase, perkusi,fibrasi dada.
Rasional : fisioterapi  dada merupakan strategi untuk mengeluarkan secret.
·         Kolaborasi :
1.)    Kolaborasi pemberian obat bronkodilator
Rasional : Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area broncus yang mengalami spasme sehingga lebih cepat berdilatasi.
2.)    Kolaborasi dengan dokter pemberian obat agen mukolitik dan ekspektoran
Rasional : agen mukolitik menurunkan kekentalan dan perlengketan secret paru untuk memudahkan pembersihan. Agen ekspektoran akan memudahkan secret lepas dari perlengketan jalan napas .
3.)    Kolaborasi dengan dokter pemberian obat kortikostiroid.
Rasional : kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan menurunkan reaksi inflamasi akibat edema mukosa dan dinding bronkus.
Diagnosa 2
·         Pola  napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan energy/kelelahan di tandai dengan sesak napas, takipnea, orthopnea, tarikan interkostal/penggunaan otot napas tambahan untuk bernapas, napas pendek, napas pursed-lip.
Tujuan:
·         Pola nafas kembali efektif setelah di lakukan tindakan keperawatan selama … x 24
Kriteri Hasil :
·         pernapasan klien normal (16-20x/menit) tanpa adanya penggunaan otot bantu napas.
·         Tidak terdapat suara nafas tambahan atau wheezing.
·         Status tanda vital dalam batas normal.
- nadi 60 - 100x /menit
- RR 16-20 x/mnt
·         Klien dapat mendemonstrasikan teknik distraksi pernapasan.

Intervensi:
Mandiri :
1.)    Posisikan pasien untuk mengoptimalkan pernapasan ( posisi semi fowler)
Rasional : posisi semi fowler dapat memberikan kesempatan pada proses ekspirasi paru.
2.)    Pantau kecepatan, irama, kedalaman pernapasan dan usaha respirasi.
Rasional : Memantau pola pernafasan  harus dilakukan terutama  pada klien dengan gangguan pernafasan .
3.)    Perhatikan pergerakan dada , amati kesimetrisan, penggunaan otot-otot bantu napas, serta retraksi otot supraklavikular dan interkostal.
Rasional : melakukan pemeriksaan fisik pada paru dapat mengetahui kelainan yang terjadi pada klien .
4.)    Auskultasi bunyi napas, perhatikan area penurunan / tidak adanya ventilasi dan adanya bunyi napas tambahan.
Rasional : Adanya bunyi napas tambahan mengidentifikasikan  adanya  gangguan pada pernapasan.
5.)    Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas, dan tersengal-sengal.
Rasional : Ansietas dapat memicu pola pernapasan seseorang.
6.)    Anjurkan napas dalam melalui abdomen selama periode distress pernapasan
Rasional : Teknik distraksi dapat merileksasikan otot –otot pernapasan.
Kolaborasi :
1)      Kolaborasi dengan dokter pemberian bronkodilator.
Rasional : pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area bronkus yang mengalami spasme sehingga  lebih cepat berdilatasi.
Diagnosa 3
·         Pertukaran gas berhubungan dengan kelelahan otot respiratory ditandai dengan dispnea, peningkatanPCO2, peningkatan penggunaan otot bantu napas
Tujuan :
·         Pertukaran gas kembali efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…x24 jam.
Kriteria Hasil :
·         Klien dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi dalam pernapasan.
·         Frekuensi napas 16-20 x /menit dan tidak sesak napas
·         Frekuensi nadi 60-120 x /menit.
·         Kulit tidak pucat ( PaO2 kurang dari 50 mm Hg.PaCO2 lebih dari 50 mm Hg dan PH 7,35-7,40 )
·         Saturasi  oksigen dalam darah lebih dari 90%

Intervensi:
1.)    Pantau status pernapasan tiap 4 jam,hasil GDA,intake dan output.
Rasional : untuk mengindenfikasi indikasi ke arah kemajuan atau penyimpangan dari hasil klien.
2.)    Tempatkan klien  pada posisi semi fowler
Rasional: posisi tegak memungkinkan ekspansi paru lebih baik.
3.)    Berikan pengobatan  yang telah ditentukan serta amati bila ada tanda-tanda toksisitas.
Rasional : pengobatan untuk mengembalikan kondisi bronchus seperti kondisi sebelumnya.
4.)    Tingkatkan aktifitas secara bertahap, jelaskan bahwa fungsi pernapasan akan meningkat dengan aktivitas.
Rasional : Mengoptimalkan fungsi paru sesuai dengan kemampuan aktivitas individu.
Kolaborasi:
1.)    Berikan terapi intravem sesuai anjuran (kolaborasi dengan dokter)
Rasional : Untuk memungkinkan dehidrasi yang cepat  dan tepat mengikuti keadaan vaskuler untuk pemberian obat-obat darurat.
2.)    Berikan oksigen melalui kanula nasal 4 L/menit selanjutnya sesuaikan dengan hasil PaO2.
Rasional : pemberian oksigen mengurangi beban otot-otot pernafasan.
Diagnosa 4:
·         Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen ditandai dengan kelelahan, dispnea, sianosis
Tujuan :
·         Dalam waktu …x24 jam setelah diberikan intervensi klien dapat melakukan aktivitas sesuai kebutuhan .
Kriteria hasil :
·         Klien dapat beraktivitas sesuai kebutuhannya
·         Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) dan tidak sesak napas
·         Frekuensi nadi 60-120 x /menit.
·         Klien dapat mendemonstrasikan teknik distraksi yang diajarkan

Intervensi:
a.)    Jelaskan aktivitas dan factor ysng dapat meningkatkan kebutuhan oksigen
Rasional : merokok ,suhu ekstrem dan stress menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan meningkatkan beban jantung .
b.)    Ajarkan progam relaksasi
Rasional : mempertahankan, memperbaiki  pola nafas teratur .
c.)    Buat jadwal aktivitas harian ,tingkatkan secara bertahap.
Rasional : mepertahankan pernapasan lambat dengan tetap memperhatikan latihan fisik memungkinkan peningkatan kemampuan otot bantu pernapasan
d.)   Ajarkan teknik napas efektif.
Rasional : meningkatkan  oksigenasi tanpa mengorbankan banyak energi .
e.)    Pertahan kan terapi oksigen tambahan .
Rasional : mempertahankan, memperbaiki dan meningkatkan konsentrasi oksigen darah.
f.)     Kaji respon abnormal setelah aktivitas.
Rasional : respon abnormal meliputi nadi , tekanan darah , dan pernafasan yang meningkat .
g.)    Beri waktu istirahat yang cukup.
Rasional :  meningkatkan daya tahan klien, mencegah kelelahan .
Kolaborasi :
a)      Kolaborasikan dengan fisioterapi untuk melakukan latihan /aktivitas harian sesuai jadwal.
Rasional: latihan/aktivitas harian memungkinkan kemampuan otot bantu nafas
(Doengoes,2000)




Daftar Pustaka
Rab,Tabran.1996.Ilmu Penyakit Paru.Jakarta:Hipokrates.
Muttaqin, Arif.2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Crocket,Antony,1997. Penanganan Asma Dalam Keperawatan Primer. Jakrta:Hipokrates.
Doengoes, Marilyn.dkk.2000. Rencana Asuhan Keperawatan.Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Tambayong,Jan.2000.Patofisiologi untuk Keperawatan.Jakarta:EGC